Di sisi lain, SEA Games 2023 juga terlihat agak dipaksakan, karena serba alakadarnya. Mulai dari memakai penerangan lampu mobil saat pembagian medali lomba maraton, kamar bocor, ruang ganti pemain sepak bola yang kurang layak, sampai insiden pengibaran terbalik bendera Merah Putih.
Memang, masih ada pemakluman karena ini adalah debut Kamboja sebagai tuan rumah SEA Games, tapi justru disinilah kesan sembrono terlihat.
Demi mendapat penilaian positif setidaknya di ASEAN, mereka tanpa ragu mengabaikan nilai sportivitas, dan melupakan potensi manfaat ekonomi yang bisa didapat, dari event seperti ini.
Seperti diketahui, untuk menarik animo penonton, pemerintah setempat menggratiskan tiket masuk dan hak siar, serta menanggung akomodasi delegasi negara peserta.Â
Tak tanggung-tanggung, biaya yang digelontorkan mencapai 200 juta dolar, atau sekitar 2,9 triliun rupiah.
Saking niatnya, sekolah di kota Phnom Penh juga diwajibkan menonton langsung saat tim Kamboja bertanding. Seperti sedang ada Olimpiade atau Piala Dunia saja.
Dari event SEA Games 2023, pemerintah Kamboja sendiri berharap, negara mereka bisa lebih dikenal, menarik wisatawan mancanegara, dan mendapat citra positif.
Masalahnya, dengan berbagai kekurangan yang ada, bukan citra positif yang sejauh ini hadir, tapi beragam kritik yang justru datang.
Ditambah lagi, event seperti SEA Games bukan Piala Dunia atau Olimpiade, jadi kurang mampu diandalkan untuk menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang.
Terlepas dari rasa "gado-gado" yang dihadirkan SEA Games 2023, kita bisa melihat bersama, olahraga memang bisa jadi satu alat publisitas pencitraan efektif bagi satu negara, tapi cepat atau lambat, ia bisa jadi bumerang, kalau tak ditempatkan seperti seharusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H