Dalam sepak bola, keberadaan pemain bintang kerap jadi nilai plus, terutama jika ia mampu berdampak positif. Darinya, sebuah tim akan punya sosok yang bisa diandalkan sebagai pembeda.
Ketika si pemain mampu menghadirkan dampak positif, tak ada keraguan tentangnya. Masalahnya, ketika dampak itu mulai hadir bersama dampak negatif, tentu bisa menjadi satu dilema tersendiri.
Situasi ini kebetulan sedang dialami Manchester United bersama David De Gea, kiper andalan mereka. Selama sedekade terakhir, kiper asal Spanyol ini awet menjadi pilar pertahanan klub.
Meski performa Setan Merah kerap naik-turun, eks pemain Atletico Madrid ini konsisten membuat penyelamatan penting, yang membuatnya dipandang sebagai salah satu kiper terbaik di Liga Inggris.
Asumsi ini juga terbukti valid, karena penghargaan Golden Glove (Kiper Terbaik Liga Inggris) musim 2017-2018 sempat diraih. Namanya juga sempat rutin masuk dalam PFA Team of The Year Liga Inggris antara musim 2014-2015 sampai 2017-2018.
Capaian ini terbilang luar biasa, karena diraih saat posisi United kadang keluar-masuk dari posisi empat besar Liga Inggris. Sebelumnya, pemain kelahiran tahun 1990 ini juga sempat meraih penghargaan serupa di musim 2012-2013, ketika klub meraih trofi liga di musim terakhir Sir Alex Ferguson.
Di musim 2022-2023, performa pemain lulusan akademi Atletico Madrid ini juga masih oke, dan rutin tampil di Liga Inggris.
Namanya bahkan masih tercatat sebagai kiper dengan catatan clean sheet terbanyak dengan 15 kali tidak kebobolan. Catatan ini lebih baik dari Alisson (Liverpool), Aaron Ramsdale (Arsenal) dan Nick Pope (Newcastle United).
Karenanya, wajar kalau pelatih Erik Ten Hag menegaskan, kiper jangkung ini masih dalam rencana taktiknya. Pihak manajemen klub bahkan bersiap mengaktifkan opsi perpanjangan kontrak selama setahun.
Sebuah keputusan masuk akal, karena De Gea masih konsisten di tengah performa tim yang masih betah inkonsisten.
Dari segi defensif, refleksnya memang masih jadi salah satu yang terbaik di Liga Inggris. Tangan dan kaki panjangnya masih andal dalam mencegah peluang lawan di saat tim membutuhkan. Satu tuntutan klasik seorang kiper, yang masih bisa dilaksanakannya dengan sangat baik.
Tapi, atribut ini terlihat kurang cocok dengan sistem permainan United ala Erik Ten Hag, khususnya dalam hal membangun serangan dari bawah. Seperti diketahui, pelatih asal Belanda itu menerapkan gaya main agresif, yang pada titik tertentu menuntut kiper untuk ikut aktif terlibat.
Gaya main ini sebenarnya sudah umum, dan ikut memodernisasi peran kiper. Dari yang tadinya hanya menjaga gawang, kini bisa leluasa menggocek bola, memberi assist bahkan mencetak gol, seperti yang antara lain sudah dilakukan Alisson bersama Liverpool.
Masalahnya, dinamika ini kadang jadi mimpi buruk buat kiper klasik seperti De Gea. Ia kurang nyaman memainkan bola di kakinya, atau mengoper pendek ke depan.
Alhasil, dirinya kurang terlihat, ketika tim mencoba membangun serangan dari bawah. Hampir setiap kali mendapat operan, bola selalu dibuang jauh. Saat bisa mengumpan pendek, akurasinya juga kurang bagus
Posisinya belakangan jadi titik lemah, ketika tim diserang. Kebanyakan lawan  musim ini seperti sepakat, menekan pertahanan sejak awal adalah rumus paling simpel untuk merusak skema taktik Manchester United.
Hasilnya, meski berpeluang meraih Golden Glove, De Gea ternyata sudah tercatat melakukan 4 blunder fatal yang berbuah gol, termasuk saat MU tumbang 0-1 dari West Ham, Senin (8/5) dinihari WIB).
Memang, kesalahan personal ada pada kiper yang tangkapannya tidak lengket, tapi ini tetap menjadi kesalahan kolektif, karena tim gagal mengatasi titik lemah di saat krusial, bahkan saat pemain yang biasa jadi kambing hitam ditepikan.
Lebih jauh, situasi ini juga menunjukkan, Erik Ten Hag masih belum punya sistem permainan yang ideal, karena masih punya titik lemah mencolok, yang terbukti jadi sasaran empuk lawan, terutama di laga tandang.
Terlepas dari performa ciamik di Piala Liga dan Piala FA, kelemahan The Red Devils era Ten Hag (seharusnya) bisa menjadi satu catatan tersendiri untuk musim depan.
Selama pelatih gundul itu masih terlalu idealis dengan idenya, tapi tidak adaptif, sepertinya ini akan jadi awal masa sulit, sekaligus repetisi  dari era kepelatihan Louis Van Gaal, Hollander lain yang awalnya juga terlihat menjanjikan di Manchester, tapi berakhir muram karena terlalu idealis.
Akankah kisah lama kembali terulang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H