Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Liverpool dan Sisi Rumit Transfer Mereka

15 April 2023   17:30 Diperbarui: 15 April 2023   17:35 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
John W Henry (Pemilik Liverpool) dan Juergen Klopp, bersiap overhaul tim di musim panas (Mirror.co.uk)

Setelah sempat diberitakan secara intens selama beberapa bulan terakhir, akhirnya Liverpool mengurungkan niat untuk merekrut Jude Bellingham dari Borussia Dortmund. Penyebabnya, harga yang dipatok klub Jerman itu dianggap terlalu mahal.

Seperti diketahui, sejak mencuat sebagai pemain muda berbakat di Bundesliga, namanya masuk radar transfer klub top Eropa, termasuk Liverpool. Kebetulan, klub Merseyside itu sedang berencana meregenerasi tim, khususnya lini tengah, yang mulai menua.

Masalah di lini tengah, ditambah rentetan cedera pemain memang seperti jadi nama tengah The Reds musim 2022-2023 yang serba berantakan. Makanya, rumor transfer gelandang baru seperti Bellingham mencuat dan sempat bergulir jadi wacana serius.

Tim asuhan Juergen Klopp ini belakangan menarik diri, karena Dortmund mematok harga 120 juta pounds  untuk klub peminat Bellingham. Jelas, keputusan ini membuat Kopites kecewa, meski ada juga yang tak terkejut, karena di era kepemilikan FSG, Liverpool memang punya patokan harga yang cenderung baku, kalau tak boleh dibilang kaku.

Patokan itu salah satunya terlihat pada batas maksimal harga transfer yang ditetapkan. Sepanjang era kepemilikan FSG, transfer kontan termahal yang pernah dibayarkan Si Merah adalah saat memboyong Virgil Van Dijk dari Southampton seharga 75 juta pounds.

Memang, angka ini belakangan dilampaui saat memboyong Darwin Nunez dari Benfica seharga 85 juta pounds. Tapi, angka sebesar itu terdiri dari 64 juta pounds ongkos transfer dan 21 juta pounds bonus performa. Jadi FSG benar-benar memegang teguh prinsip itu.

Kebijakan ini sendiri didasari dengan pertimbangan, si pemain memang punya kualitas sesuai harga, dan sesuai dengan kebutuhan tim dalam jangka menengah atau panjang. Selain itu, mereka juga menerapkan kebijakan "jual dulu baru beli" atau memanfaatkan dana penjualan pemain, untuk menjaga neraca keuangan tetap sehat.

Kasus transfer paling terkenal dari kebijakan ini misalnya hadir dari transfer Van Dijk dan Alisson, yang sebagian besar dananya berasal dari transfer Philippe Coutinho ke Barcelona seharga 121 juta pounds. Kasus lain datang dari transfer Darwin Nunez, yang sebagian dana transfernya berasal dari penjualan Sadio Mane, Neco Williams dan Takumi Minamino.

Di luar aturan transfer, FSG juga punya batasan gaji maksimal yang cukup ketat. Aturan ini sendiri hanya akan diubah, jika ada pemain yang layak mendapat gaji tinggi, seperti pada kasus Mohamed Salah (375 ribu pounds per pekan).

Sebelum Salah naik gaji awal musim 2022-2023, rekor bayaran termahal di klub dipegang oleh Virgil Van Dijk (220 ribu pounds per pekan). Dengan batasan gaji seketat itu, peluang mendaratkan pemain berharga mewah seperti Bellingham jelas sangat tipis.

Mereka tak akan menjebol tabungan dana transfer, jika dampaknya sampai membuat struktur gaji klub berubah total. Makanya, agak sulit untuk Liverpool membeli pemain mahal yang sudah cukup populer, kecuali harganya masih berada di angka maksimal 40-50 juta pounds, seperti pada kasus transfer Alex Oxlade-Chamberlain, Roberto Firmino dan Naby Keita, yang kontraknya akan selesai akhir musim ini.

Dari situasi ini, wajar jika nama-nama seperti Luka Sucic (RB Salzburg), Ryan Gravenberch (Bayern Munich), Manuel Ugarte (Sporting Lisbon) sampai duo Chelsea (Connor Gallagher dan Mason Mount) masuk radar.

Mereka berusia 20-24 tahun, dan sesuai dengan kriteria belanja FSG. Kurang lebih seperti saat Ibrahima Konate diboyong dari RB Leipzig seharga 35 juta pounds tahun 2021.

Belakangan, nama Alexis MacAllister (Brighton) juga disebut masuk radar, tapi dengan performanya yang oke di Brighton dan status juara Piala Dunia 2022, harga transfer pemain Argentina itu tampaknya akan naik cukup tajam.

Tapi, kalau melihat lagi perilaku transfer Liverpool era Klopp, ada satu kebiasaan yang bisa jadi kemungkinan menarik, yakni membeli pemain dari tim yang terdegradasi atau nama kejutan dari liga lain seperti Daichi Kamada (Eintracht Frankfurt) yang berstatus gratis musim panas nanti. 

Sebelumnya, ini pernah jadi kebiasaan Klopp saat mulai membangun tim. Ada nama-nama seperti Gini Wijnaldum (dibeli dari Newcastle United), Andy Robertson (Hull City), Xherdan Shaqiri (Stoke) sampai Harvey Elliott (Fulham) yang dibeli dari tim-tim yang terdegradasi ke kasta kedua.

Ada juga Kostas Tsimikas (dari Olympiakos) dan Joel Matip (Schalke) yang terbilang cukup sukses meski harganya ekonomis. Jadi, bukan kejutan kalau nama-nama seperti James Maddison (Leicester) atau Romeo Lavia (Southampton) masuk radar bahkan mendarat di Anfield, andai kedua tim terdegradasi.

Dengan rencana "overhaul" yang akan coba dilakukan tim, bukan kejutan juga kalau pemain lulusan akademi seperti Tyler Morton dan Stefan Bajcetic akan punya kesempatan lebih banyak di tim utama.

Morton menjalani masa pinjaman yang cukup sukses di Blackburn Rovers, seperti Harvey Elliott dua tahun lalu, sementara Bajcetic mulai sering tampil di tim utama sebelum akhirnya mengakhiri musim lebih awal karena cedera. Jika ditambah dengan 2-3 pemain baru, tampaknya kita akan segera melihat, wajah baru dari lini tengah Liverpool yang sudah mulai usang.

Dengan kebiasaan Klopp yang lebih sering memoles pemain menjadi bintang dan kriteria belanja FSG, nama baru di lini tengah The Kop mungkin akan kurang familiar di awal, levelnya pun belum tentu  langsung bagus seperti yang sudah ada.

Tapi, inilah penanda akhir  siklus "gegenpressing" generasi pertama di Liverpool, yang sebenarnya sudah dimulai sejak Sadio Mane hengkang. Seperti sebelumnya, tim ini akan mulai lagi dari awal, sebelum mencapai puncak.

Sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi, andai bisa diantisipasi lebih cepat. Mungkin, membangun tim secara tidak instan dalam satu periode siklus memang "jalan ninja" Liverpool era FSG. Sedikit kuno menurut standar olahraga modern yang cenderung berorientasi hasil, tapi begitulah adanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun