Tapi, untuk saat ini, aku hanya bisa diam secara fisik dan bertahan secara mental. Pada gilirannya, semua akan dikembalikan ke tempat semula.
Mereka yang bicara dan bertingkah terlalu banyak akan dipaksa diam. Mungkin, ini terasa tak adil, karena tidak ada pengakuan secara jujur, tapi bagi sebagian orang, diam adalah sebentuk pujian, kalau tidak boleh dibilang ekspresi malu.
Namanya juga standar ganda, paten.
Dear kata-kata,
Terima kasih telah memberi tubuh renta ini ruang katarsis untuk bebas bersuara dalam diam, setidaknya sampai giliranku nanti tiba.
Aku hanya ingin tetap jadi diriku, minimal sampai akhir. Seperti melagu tanpa kata dalam puisi tanpa rima dan syair tanpa aksara. Tidak seindah setapak Sriwedari, tapi selalu bisa memberi rasa lepas yang menyenangkan, sebelum kembali ke realitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H