"Mengalah untuk menang."
Itulah kata orang soal cara menjaga situasi tetap kondusif. Dengan mengalah, ego tak punya ruang untuk berulah. Api konflik pun padam bahkan sebelum sempat tersulut.
Tapi, ada kalanya semua harus dilihat lagi, karena masih ada naluri kompulsif di sana. Satu kompromi kadang mengundang banyak kompromi lain untuk datang, dengan tuntutan yang terus naik, seperti harga bensin.
Kalau apa yang kita usahakan diakui dan dihargai, mungkin semua akan terasa adil. Ada timbal balik yang membuat rasa hambar tak pernah ada.
Sekalipun kadang menyakitkan, sepanjang itu masih dianggap sedikit saja, semua masih aman terkendali. Itu idealnya, tapi di ruang yang masih mengizinkan standar ganda hidup sejahtera, kadang semua terasa menjijikkan.
Ketika seseorang memilih fokus dengan apa yang dia bisa lakukan dan dianggap remeh, itu tidak masalah. Keajaiban hadir, ketika yang dianggap remeh itu bisa menghasilkan, tapi malah tidak bisa dinikmati dan tidak dianggap.
Jujur saja, rasa sakitnya berlipat, dan semakin berlipat ketika kompromi demi kompromi datang, dan membuat rasa bersalah kepada diri sendiri terus mengetuk pintu. Dia seperti mau bilang
"Gini amat njir."
Sebenarnya kita berbagi satu rasa, karena aku pun merasa sakit. Mau marah, mau protes, tapi tubuh terlalu renta untuk melakukan itu, sekalipun dilatih keras.
Aku sudah coba melakukan beberapa adaptasi, dengan melakukan yang bisa dilakukan. Salah satunya, dengan pergi ke gereja di Minggu sore.