Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Eksposur Penting, tapi Bukan Segalanya

5 April 2023   07:51 Diperbarui: 5 April 2023   11:53 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Etsy.com)

Di era digital ini, menjadi "reviewer" telah menjadi satu pilihan profesi yang cukup banyak dilirik. Selain karena bisa disesuaikan dengan minat atau hobi, potensi pendapatannya juga besar.

Terdengar mudah dan menjanjikan. Mungkin, inilah yang membuat profesi "reviewer" atau "influencer", apalagi yang bisa merangkap sebagai Youtuber, jadi cita-cita sebagian generasi muda kekinian.

Kalau sudah punya banyak "followers" dan eksposurnya luas, seorang "reviewer" memang akan punya nilai tawar dan reputasinya sendiri, tapi bukan berarti mereka bisa seenaknya.

Ada banyak etika dasar yang harus tetap dipegang. Mulai dari memahami betul karakter produk, menjaga objektivitas penilaian, sampai kewajiban untuk membayar produk yang di-review (kecuali jika biaya ditanggung sponsor).

Etika dasar ini menjadi penting, karena  menentukan kualitas informasi yang akan ditampilkan ke audiens, dan dampaknya terhadap produk maupun pelaku bisnis.

Kalau produknya tidak dipahami betul, apalagi asal dinilai, audiens akan menerima informasi yang tidak tepat. Akibatnya, akan banyak muncul komentar negatif, karena apa yang dilihat tidak sesuai ekspektasi.

Alih-alih untung, pelaku bisnis malah rugi. Viral sekali, sudah itu habis. Tak ada manfaat berkelanjutan. Sudah banyak contoh yang mengalami fenomena ini.

Soal kewajiban untuk membayar produk, ini sebenarnya bergantung pada faktor  etis. Pelaku usaha yang produknya di-review banyak mengandalkan produk itu sebagai sumber penghasilan.

Maka, jika "reviewer" membayar produk yang mereka nilai, seperti pembeli pada umumnya, itu adalah satu cara menghargai paling dasar, dan dengan melakukan itu, penilaian bisa lebih objektif, karena ada pembanding paling dasar: harga dan kualitas.

Kalau dua pembanding itu berada sejajar, seharusnya tidak ada yang dilebihkan atau dikurangi. Bukan berarti menganggap remeh popularitas si "reviewer", ini adalah satu cara untuk mendidik masyarakat, termasuk mereka yang ingin jadi "reviewer", untuk tak seenaknya.

Kebetulan, masalah sikap ini sudah membuat profesi "reviewer" berada dalam sorotan. Bukan ahli atau praktisi, tapi sudah minta dan bicara terlalu banyak. Sangat tidak pantas.

Bagi yang sudah punya nama, mungkin sudah biasa, tapi bagi yang sedang merintis, sorotan yang ada bisa sangat membebani, karena menjadi satu cap negatif terhadap profesi secara umum.

Profesi "reviewer" sendiri pada dasarnya dibangun di atas kejujuran dan kepercayaan. Jadi kalau cara kerjanya hanya didasari variabel abstrak seperti eksposur, ada yang salah, karena strategi "bayar pakai exposure" ini seperti minta produk gratis dengan gaya.

Jelas, ini tidak baik untuk dibiasakan. Kalau titik fokusnya hanya pada eksposur, hasilnya akan seperti artikel "clickbait": judul dan isi tidak sinkron, asal bunyi, asal jadi.

Mungkin, inilah satu sisi lain era digital yang seharusnya perlu diperhatikan lebih jauh. Di balik kemudahan yang dimilikinya,  tetap ada sisi negatif jika disalahgunakan, apalagi sampai melangkahi etika dasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun