Kebetulan, masalah sikap ini sudah membuat profesi "reviewer" berada dalam sorotan. Bukan ahli atau praktisi, tapi sudah minta dan bicara terlalu banyak. Sangat tidak pantas.
Bagi yang sudah punya nama, mungkin sudah biasa, tapi bagi yang sedang merintis, sorotan yang ada bisa sangat membebani, karena menjadi satu cap negatif terhadap profesi secara umum.
Profesi "reviewer" sendiri pada dasarnya dibangun di atas kejujuran dan kepercayaan. Jadi kalau cara kerjanya hanya didasari variabel abstrak seperti eksposur, ada yang salah, karena strategi "bayar pakai exposure" ini seperti minta produk gratis dengan gaya.
Jelas, ini tidak baik untuk dibiasakan. Kalau titik fokusnya hanya pada eksposur, hasilnya akan seperti artikel "clickbait": judul dan isi tidak sinkron, asal bunyi, asal jadi.
Mungkin, inilah satu sisi lain era digital yang seharusnya perlu diperhatikan lebih jauh. Di balik kemudahan yang dimilikinya, Â tetap ada sisi negatif jika disalahgunakan, apalagi sampai melangkahi etika dasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H