Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Narasi Perubahan Iklim dan Sisi Egois Tentangnya

2 April 2023   13:13 Diperbarui: 2 April 2023   13:38 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, narasi soal lingkungan hidup, khususnya perubahan iklim jadi satu hal yang banyak dibahas dan jadi perhatian. Maklum, ini menyangkut kemaslahatan bersama.

Tapi, kalau boleh jujur, ada satu hal di sini, yang cukup mengherankan. Bukan soal narasi terkesan menakut-nakuti yang biasa disuarakan, tapi lebih karena sisi egois yang ditampilkan.

Sisi egois itu antara lain terlihat, dari sudut pandang yang kurang memahami situasi secara utuh. Dalam banyak kesempatan, narasi yang dihadirkan cenderung hanya menyalahkan, bukan mengedukasi faktor sebab akibat dan sudut pandang adaptif.

Untuk ukuran hal mendasar seperti lingkungan hidup, sudut pandang "menyalahkan" memang punya tujuan positif, tapi itu masih terlalu dangkal.

Makanya, sekalipun kebiasaan seperti meniadakan kantong plastik di supermarket terus berjalan, kampanye dengan sudut pandang ini masih belum efektif. Ditambah lagi, alternatif solusi yang diberikan masih belum bisa dijangkau semua kalangan, dan masih sebatas menjadi alat bisnis kapitalis.

Padahal, kalau memakai sudut pandang lebih luas, apa yang terjadi sebenarnya adalah satu cara alam beradaptasi dengan keadaan. Jadi, akan terasa aneh jika hal natural semacam ini, malah dianggap sebagai satu kesalahan.

Kalau dirunut lagi, "perubahan iklim" adalah satu hal yang sudah terjadi beberapa kali sejak lama, dan itu memang mengubah banyak aspek dalam kehidupan.

Ada spesies yang punah dan berevolusi, seperti halnya perubahan bentuk daratan. Ada dataran hijau yang menjadi gurun, atau pulau-pulau yang sebelumnya masih tersambung sebagai satu daratan.

Kalau memakai perspektif sempit, perubahan ini mungkin terlihat seperti bencana. Makanya, sebagian narasi yang beredar cenderung menakut-nakuti.

Tapi, kalau mau dilihat lagi secara luas, ini adalah bagian dari siklus yang terus berjalan. Satu siklus punya awal dan akhir, tidak abadi. Yang abadi adalah perjalanan dari satu siklus ke siklus lain.

Pemahaman ini menjadi satu hal mendasar, yang seharusnya bisa membangun kesadaran positif. Sebagai sebuah makhluk, kita hanya bagian sangat kecil dari alam yang luas.

Sebesar apapun egonya, sepintar apapun otaknya, siklus alam bukan sesuatu untuk diatur, dicegah apalagi dilawan. Pilihannya tegas: terima atau tidak sama sekali.

Memang, di zaman modern ini teknologi bisa memprediksi cuaca, gempa bumi, erupsi gunung berapi, bahkan perubahan iklim. Ada juga "teknologi" pawang hujan yang masih banyak dipakai di Indonesia.

Tapi, belum ada yang bisa memprediksi secara tepat waktu dan tempat kejadiannya, karena alam-lah yang punya "acara" di sini. Pawang hujan pun sifatnya bukan membatalkan hujan, tapi hanya "memindahkan" awan hujan ke tempat lain.

Pada manusia, perjalanan siklus sebenarnya biasa terjadi saat usia bertambah. Ada fase dimana seseorang mulai berkeriput atau menurun secara kemampuan fisik secara alami.

Seiring kemajuan teknologi, perubahan ini memang bisa diakali dengan operasi plastik atau program diet ketat, tapi itu hanya menunda sementara waktu, karena ini adalah bagian sebuah siklus alam.

Pada saatnya nanti, penurunan kekuatan dan penuaan akan tetap datang. Selebihnya tinggal bagaimana kita menerima dan menjalani.

Bagi yang bisa menerima kedatangan siklus baru, rasanya akan tetap menyenangkan. Ada waktu untuk "naik tingkat", dan menikmati yang seharusnya bisa dinikmati, setelah melalui perjalanan panjang.

Bagi yang tidak siap, mungkin ini adalah awal dari sebuah mimpi buruk.

Kembali ke narasi soal perubahan iklim, narasi yang kita terima selama ini, jelas berkebalikan dengan realitas, karena justru menunjukkan "kebesaran" ego manusia.

Tidak ada kesadaran lain yang dominan di sini, selain "take and give" dan sisi "mau enaknya saja" dari sudut pandang manusia.

Makanya, setiap kali ada "bencana alam", fenomena itu masih lebih banyak disikapi sebagai satu musibah atau bencana, alih-alih sebagai bagian dari sebuah siklus alam. Terlalu banyak rasa takut dibanding kesadaran soal "kedatangan sebuah siklus".

Padahal, alam selalu punya waktu dan caranya sendiri. Manusia dan hewan saja punya "panggilan alam", apalagi alam itu sendiri. Inilah pandangan dasar yang hampir tidak pernah diapungkan, karena terkesan pasif, tidak aktif seperti kampanye "pencegahan" yang banyak beredar.

Inilah yang membuat kampanye pencegahan, termasuk narasi perubahan iklim tak kunjung efektif sejak lama. Dasarnya saja sudah keliru, apalagi kalau dilanjutkan.

Mungkin, terlihat aktif "mencegah" itu keren, tapi pencegahan yang terlambat malah hanya akan menciptakan kerusakan lebih besar, karena tak selaras dengan siklus alam yang pada dasarnya tak bisa dibendung apalagi didikte sesuai keinginan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun