Menyusul pencoretan Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U20 oleh FIFA, reaksi kesal, marah dan kecewa masih mewarnai, lengkap dengan beragam cerita sedih yang muncul bersama kerugian negara, dengan nilai mencapai triliunan rupiah.
Soal kerugian materi, mungkin bisa cepat diganti. Kebetulan, ada oknum pejabat yang punya rekening gendut dan nilainya mencapai triliunan rupiah.
Tapi, soal kekecewaan publik, terutama publik sepak bola nasional, ini akan sulit dicari gantinya. Kekecewaan ini menjadi sangat besar, karena kesempatan sekali seumur hidup untuk menonton Timnas Indonesia jadi tuan rumah turnamen sepak bola tingkat dunia langsung lenyap seketika.
Kalau penyebabnya karena kalah bertanding di lapangan, rasa kecewa memang ada, tapi masih ada sedikit rasa bangga karena memang kalah di pertandingan.
Masalahnya, kegagalan Indonesia tampil sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 edisi 2023 dipicu oleh politisasi olahraga, dengan menolak kedatangan Timnas Israel U-20 yang memang lolos kualifikasi.
Apa boleh buat, FIFA terpaksa mencabut hak tuan rumah Indonesia, yang belakangan dialihkan ke Argentina. Ini satu langkah logis, karena menyangkut aspek keamanan dan profesionalitas pada komitmen yang telah disepakati sebelumnya.
Tapi, bagi Timnas Indonesia U-20 dan publik sepak bola nasional, keputusan ini jadi terasa menyakitkan, karena Indonesia dipaksa kalah sebelum bertanding, bahkan terancam kena sanksi FIFA.
Maka, ketika pihak yang membuat gaduh dan menyerukan penolakan ini malah berlagak terkejut, ini akan membuat rasa sakit yang sudah ada jadi semakin berat.
Keterlaluan kalau sampai tidak ada penyesalan atau kata maaf sama sekali, bahkan menganggap ini bukan apa-apa. Begitu juga dengan mereka yang menyuarakan dukungan, saat semua sudah terlambat.
Mungkin, mereka akan menganggap, setelah situasi kembali dingin, orang akan lupa dengan sendirinya. Pandangan ini jelas terlalu naif, karena masyarakat, terutama generasi muda bukan pelupa.