Terlepas dari pro-kontra yang ada, dan potensi gerakan "cancel culture" dari pecinta sepak bola pada politisi atau partai yang andil di sini, saya justru memilih untuk berterima kasih kepada FIFA atas keputusan ini.
Bukan bermaksud sarkas, ini hanya satu sudut pandang reflektif, karena dari keputusan FIFA kali ini, ada beberapa kekurangan yang bisa kita lihat, baik dari sisi sepak bola atau sebagai sebuah bangsa, khususnya akhir-akhir ini.
Dari sisi sepak bola, keputusan FIFA (dan kemungkinan sanksi tambahan) seharusnya bisa jadi pengingat, soal bagaimana seharusnya membangun tata sepak bola berkualitas.
Jujur saja, pada saat terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, PSSI menggunakan urutan terbalik. Disebut demikian, karena sebuah negara biasanya berani mengajukan diri sebagai tuan rumah turnamen, saat semua aspek sudah siap.
Sementara itu, PSSI malah berani mengajukan diri, meski banyak kekurangan, dengan hanya mempromosikan animo suporter sebagai jagoan utama.
Ironisnya, animo suporter ini ternyata juga punya potensi kerawanan, yang terbukti meledak, saat ada gaduh soal kedatangan Timnas Israel U-20.
Kegagalan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 sendiri juga menjadi satu peringatan tegas, soal kondisi aktual sepak bola nasional.
Di balik potensi yang selama ini digembar-gemborkan, masih ada ketidaksiapan, bahkan sejak dari pikiran, untuk berproses dan berprogres secara wajar.
Buktinya, kompetisi kelompok umur masih belum jalan, sektor perwasitan masih belum dibenahi, plus upaya pencalonan sebagai tuan rumah turnamen tingkat dunia.
Jadi, ketika kegagalan ini terjadi, seharusnya PSSI dan pihak-pihak terkait bisa menyadari, daripada bermimpi terlalu tinggi, ada baiknya mereka memulai dari hal-hal mendasar, kecuali kalau memang sudah bebal.