Kemenangan 3-1 Timnas Indonesia atas Burundi, Sabtu (25/3) menjadi satu hasil positif, yang kembali mendatangkan optimisme, soal kenaikan peringkat FIFA dan peningkatan kualitas tim secara umum.
Maklum, meski cukup kerepotan dan kebobolan satu gol di babak kedua, Jordi Amat dkk mampu tampil cukup baik, terutama di babak pertama. Gol-gol Yakob Sayuri, Dendy Sulistiawan dan Rizky Ridho menjadi gambaran sempurna.
Meski lawan lebih unggul secara postur tubuh dan level stamina, kemampuan dalam memanfaatkan celah di pertahanan lawan mampu menjadi pembeda.
Terbukti, tiga gol mampu dicetak lewat kemampuan ini di babak pertama, dengan semuanya berawal dari skema umpan silang.
Dari segi manfaat, laga melawan tim Afrika ini akan lebih terasa di laga kedua, Selasa (28/3) mendatang. Laga ini akan lebih intens, karena kedua tim sama-sama sudah punya gambaran.
Jadi, bukan kejutan kalau pada pertandingan kedua nanti situasinya berbeda. Kecuali jika Timnas Indonesia tak cepat puas.
Terlepas dari anggapan miring soal kualitas Burundi, laga seperti ini memang dibutuhkan Tim Garuda. Selain untuk memperbaiki peringkat FIFA, lawan tanding dari luar Asia Tenggara memang dibutuhkan.
Malah, kalau perlu, setiap ada jeda internasional FIFA, lawan yang diundang berasal dari luar Asia Tenggara. Dengan harapan, mereka bisa lebih adaptif.
Sebagai sebuah tim, Indonesia sudah terlalu lama terpaku pada standar Asia Tenggara, yang masih keteteran di Asia. Akibatnya, meski punya pemain berbakat, mereka tampak sulit menaikkan level. Permainan mereka mudah diredam, karena tidak adaptif.
Ironisnya, tim-tim yang selama ini dianggap rival, seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam justru mulai serius menjajaki ujicoba dengan negara lain di luar ASEAN.
Maka, wajar ketika Indonesia (akhirnya) mengambil langkah serupa. Meski nama negaranya agak kurang familiar, keberadaan lawan seperti itu justru sangat bermanfaat.
Sebagai contoh, saat menghadapi tim yang punya fisik kuat seperti Curacao, Burundi, dan Palestina (bulan Juni mendatang) para pemain bisa belajar melihat kelebihan mereka dan kelemahan lawan, sebelum akhirnya mengupayakan hasil positif.
Nantinya, ini bisa jadi modal besar, jika di Piala Asia nanti bertemu wakil Timur Tengah yang secara fisik kuat. Dalam banyak kesempatan, tim-tim Asia Tenggara masih keteteran, dan Indonesia mendapat kesempatan bagus untuk belajar.
Soal peringkat FIFA lawan, banyak yang memandang sebelah mata Burundi, tapi kita juga tidak bisa memilih lawan. Buktinya, Kenya saja enggan saat diajak beruji coba dengan Tim Merah Putih.
Maka, daripada pusing karena patokan kaku peringkat 50 besar atau 100 besar FIFA, akan lebih baik kalau patokannya diubah menjadi "negara luar Asia Tenggara berperingkat dunia lebih baik.
Jadi, kalau misal Indonesia akan menghadapi negara-negara 100 besar FIFA seperti Belarus, Uganda, Oman, Bolivia, atau Israel sekalipun, publik sepak bola nasional perlu mempertanyakan kualitas aktual Timnas kita, sambil melihat betapa luasnya dunia ini, dan betapa sempit cara pandang selama ini.
Sudah bukan waktunya lagi publik sepak bola nasional dibius dengan cerita kehebatan masa lalu, karena tak lagi relevan. Untuk mendapat lawan tanding tim kelas satu, maka harus ada upaya nyata untuk membuktikan kita layak mendapatkannya.
Kalau upaya perbaikan sistem dirasa terlalu lama, maka cara paling sederhana adalah mengadakan ujicoba melawan tim dari luar Asia Tenggara, untuk mengejar ketertinggalan selama ini.
Kalau manfaat ini bisa cepat disadari, naik level secara bertahap seharusnya bisa digapai. Ambil contoh, menembus 130 besar FIFA tahun 2023, sebelum naik ke 100 besar di tahun-tahun berikutnya.
Ini memang kurang keren di awal, tapi kemajuannya bisa dirasakan di setiap aspek, sehingga tim bisa terus berkembang. Lagipula, tidak ada negara peringkat 151 FIFA yang bisa langsung melesat ke posisi teratas hanya dari satu pertandingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H