Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"The Glory", Sebuah Media Edukasi tentang "Bullying"

20 Maret 2023   12:56 Diperbarui: 20 Maret 2023   21:52 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuntasnya serial Drakor "The Glory" menghasilkan banyak kesan, baik positif maupun negatif. Saya sendiri juga terkesan dengan Drakor ini.

Bukan hanya karena alur cerita atau kualitas aktingnya yang istimewa, tapi juga karena sisi traumatis yang digambarkan di sini sangat "relatable" dengan sudut pandang korban, khususnya di masa remaja. Masa yang sebetulnya indah, tapi sangat rawan.

Karenanya, Drakor besutan Netflix ini layak untuk dijadikan satu media edukasi terkait "bullying" pada remaja, sekaligus refleksi, bahkan terapi trauma bagi yang dulu pernah jadi korban.

Sebagai orang yang di masa remaja pernah menjadi korban "bullying" karena kekurangan fisik bawaan yang saya punya, saya bisa (setidaknya sedikit) memahami, kenapa rasa sakit yang tergambar di sana begitu pekat.

Ada kombinasi antara rasa marah, tidak berdaya, dan serba salah dalam satu waktu. Disebut demikian, karena para pelaku biasa menganggap tindakan mereka sebagai satu kesenangan.

Jadi, tak ada rasa bersalah di sini. Kalau ada apa-apa, selama orang tua si pelaku adalah orang kuat, semua bisa diatur. Toh, ini masih sebatas dianggap sebagai satu jenis kenakalan remaja.

Apesnya, semua itu nyaris rutin terjadi dalam waktu cukup lama, dan hanya bisa dihadapi sendiri oleh korban.

Mengadukan ke orangtua atau guru bisa jadi solusi, tapi belum tentu efektif, karena kalaupun ada sanksi dari pihak sekolah, dampaknya belum cukup untuk menghapus masalah yang ada.

Di dalam sekolah, rasa aman itu mungkin ada, tapi begitu di luar, kita tidak tahu, karena pelaku "bullying" kadang punya jalan pikiran diluar nalar. Belum lagi,  kalau orang tua atau guru yang diharapkan bisa membantu ternyata malah punya sisi toksik.

Praktis, satu-satunya hal yang membuat semua pihak sadar adalah, ketika ada dampak serius yang muncul. Di sini, adu kesabaran antara pelaku dan korban jadi satu medan pertarungan utama.

Kalau pelaku "bullying" terlalu bernafsu, cepat atau lambat mereka akan tertangkap basah akibat tingkah mereka sendiri. Alhasil, mereka akan menganggap ini sebagai urusan "menang atau kalah", "benar atau salah", dan sejenisnya.

Soal frekuensinya, ada sebuah paradoks di sini, karena pelaku "bullying" yang biasa melakukan serangan berkali-kali, bisa saja runtuh hanya dalam sekali balas.

Disadari atau tidak, meski menang jumlah dan kekuatan fisik secara kasat mata, mereka sebenarnya agak ringkih secara mental. Bahkan, ada yang langsung "playing victim" saat tertangkap basah.

Jadi, kalau korban "bully" sampai bisa menghadirkan "pembalasan sistematis", seperti yang dihadirkan dalam Drakor "The Glory", berarti level "bullying" yang didapat sudah terlalu parah.

Di luar perkara "aksi dan reaksi", ada satu masalah lain, yang sebenarnya tidak kalah pelik, yakni trauma pada korban. Meski masalahnya sudah lama berlalu, memori rasa sakitnya masih tetap ada. Inilah salah satu gambaran "neraka" yang digambarkan di Drakor yang dibintangi Song Hye Kyo.

Contoh paling sederhananya bisa dilihat, misalnya dari sikap si korban terhadap tempat kejadian. Kalau itu terjadi di sekolah, bukan kejutan kalau setelah lulus si korban tak pernah lagi menginjakkan kaki di sana.

Meski sebenarnya masih ada banyak memori positif, keberadaan memori traumatis pada periode yang sama, menjadi satu paket yang mau tak mau harus diterima.

Butuh waktu tidak sebentar untuk berani mengungkapkan, dan butuh waktu lebih lama lagi untuk merelakan. Prosesnya beragam di setiap individu, dan tidak bisa disamaratakan. Ini bukan kesalahan korban, tapi merekalah yang menanggung beban penderitaan paling besar. 

Terlepas dari berbagai kerumitan di sekelilingnya, "bullying" memang tidak untuk dinormalisasi, dan harus disadari efek negatifnya. Hal buruk yang diterima secara rutin bisa berdampak buruk juga dalam jangka pendek maupun panjang  begitupun sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun