Di antara beragam label rekaman, label independen alias "indie" menjadi satu alternatif yang menghadirkan beragam pilihan menarik. Dari segi genre musik, ada pop, jazz, rock, dan masih banyak lagi.
Sesuai namanya, label musik ini biasanya bergerak bebas, sesuai selera sang seniman. Dengan kata lain, ada kecenderungan untuk tidak tunduk pada tuntutan atau tren pasar pada umumnya.
Inilah yang membuat mereka punya dimensi luas, bukan melulu soal cinta. Ada persahabatan, kisah nostalgia, dinamika keseharian, sampai memori masa sulit.
Soal popularitas, ada yang viral seperti pada lagu "Akad" nya Payung Teduh, atau menjadi soundtrack drama Korea seperti lagu "Happy" nya Mocca. Boleh dibilang, kualitasnya valid.
Bagi saya sendiri, musik label indie dan berbagai keunikan di dalamnya menjadi satu oase, ditengah makin dominannya tren musik dangdut, khususnya dangdut koplo.
Seperti diketahui, dalam beberapa tahun terakhir, musik koplo seperti ada dimana-mana. Di televisi, di media sosial, bahkan pada lagu yang sebetulnya bukan aliran musik koplo, tapi menjadi koplo karena di-remix, kadang secara berlebihan.
Saat pertama kali kenal lagu dari label indie semasa SMP, selera saya mungkin tidak biasa. Prosesnya pun tak biasa, karena langsung suka saat pertama kali dengar. Saya masih ingat, lagu itu berjudul "You" yang dinyanyikan oleh Mocca, band indie asal Bandung.
Tapi, ketika itu jadi hal biasa bertahun-tahun kemudian, ada satu hal yang membuat saya geli, yaitu pentautan kata "senja" secara berlebihan, sampai muncul istilah "anak senja" untuk penggemar musik label indie.
Ini jelas pendekatan yang sangat "pars pro toto" (Latin: sebagian untuk semuanya), karena tak semua lagu dari musisi indie hanya membahas soal kejadian di saat senja atau suasana senja.
Ada banyak hal yang diceritakan, termasuk  kritik pada label rekaman "mainstream" yang seolah tak bisa lepas dari kata "cinta". Seperti ditampilkan band Efek Rumah Kaca pada lagu "Cinta Melulu".