Judul di atas mungkin terdengar aneh, tapi begitulah pesan yang saya dapat dari event KJOG bersama Komunitas Paseduluran Langenastro di Sasana Jemparingan Wisanggeni, Bantul, Yogyakarta, Sabtu (10/3) lalu.
Pada event Jemparingan ini, sebenarnya saya hanya jadi penonton, karena kondisi fisik saya memang tidak memungkinkan untuk melakukan semua tahapan praktek jemparingan, tapi dari sinilah saya mendapat ruang leluasa untuk mengamati lebih jauh, menemukan ide, dan merangkainya menjadi tulisan yang sedang  Anda baca ini.
Sekilas, jemparingan atau olahraga panahan tradisional Jawa dan menulis adalah dua hal yang sama sekali berbeda.Â
Tapi, dalam beberapa hal mendasar, ternyata mereka berada dalam ruang yang sama, bahkan bergerak dalam kerangka proses yang juga sama.Â
Inilah satu keunikan jemparingan sebagai satu warisan budaya yang berdimensi luas, karena menghadirkan sisi fisik dan spiritual secara bersamaan.
Pada prosesnya, baik menulis maupun jemparingan sama-sama menjalankan proses mendengar, dan memahami sebagai persiapan, sebelum akhirnya melakukan eksekusi. Dari mendengar, kita bisa tahu dan paham apa yang ingin dilakukan, sehingga tidak kebingungan saat melakukan eksekusi.
Proses ini berjalan runtut, dengan urutan yang tidak bisa diganti seenaknya. Dari gambaran besar yang sifatnya umum ke gambaran kecil yang sifatnya khusus, sebelum akhirnya menemukan pesan utama yang perlu disampaikan.
Dalam beberapa kasus langka, memang ada orang yang masuk kategori "berbakat", dan mengawali secara tak sengaja, tapi setelah akhirnya memutuskan untuk menekuni, proses "menemukan diri" yang sama tetap akan dijalani.
Dalam jemparingan maupun menulis, pembiasaan juga jadi titik awal. Sebelum menembak sasaran dengan anak panah, ada proses belajar menarik busur, seperti halnya proses mengolah rasa dalam merangkai kata sebelum jadi sebuah tulisan.
Saya tidak mengedepankan rasa suka di sini, karena rasa suka kadang bersifat temporer, layaknya tren mainan lato-lato, dan masih perlu diuji lebih jauh.