Tujuannya agar bisa menyadari, seberapa besar kemampuan dan apa saja yang jadi kekurangan, supaya bisa lebih berkembang, atau minimal jadi satu kebiasaan positif.
Dengan "bisa rumangsa" atau bisa menyadari inilah, kontinuitas bisa terbangun. Kemampuan pun akan meningkat secara natural, bahkan kadang tanpa disadari, karena sudah menikmati kontinuitas itu.
Sekalipun sudah bertahun-tahun menjalani, rasa jenuh tak akan mampu menghentikan, karena tahap "menemukan diri", yang memang jadi titik tujuan sudah dicapai. Kalau sudah menemukan diri di dalam, barulah dampak positif ke luar bisa diciptakan.
Ini jelas berbeda dengan mereka yang sejak awal "rumangsa bisa" alias merasa bisa. Pada awalnya, mereka terlihat menjanjikan, tapi pada akhirnya rontok sendiri.
Penyebabnya bukan karena mereka tidak punya kemampuan, tapi lebih karena enggan menyadari batasan diri, apalagi mau berproses menemukan dirinya.
Satu kesamaan lain yang jadi benang merah antara jemparingan dan menulis adalah rasa tanggung jawab dan kehati-hatian.Â
Dalam jemparingan, ini misalnya tercermin dari kebiasaan mengambil kembali anak panah yang sudah dilepas, dan merapikan lagi busur setelah selesai digunakan. Kehati-hatian sendiri menjadi satu aspek wajib, supaya panah yang dilepas tidak membahayakan orang lain.
Ini mirip dengan sisi tanggung jawab etis dalam menulis. Dimana, menulis, khususnya pada hal-hal serius atau faktual tidak boleh asal, begitu juga dalam menulis karya fiksi, karena baik-buruknya sebuah tulisan bisa memengaruhi sikap pembacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H