Dalam beberapa waktu terakhir, sorotan soal dugaan skandal pencucian uang di Kemenkeu mencuat. Nilainya mencapai 300 triliun rupiah, dan masih bisa bertambah, karena penelusuran masih berlanjut.
Dengan nilai sebesar itu, bisa terbayang seberapa besar kemarahan publik, dan seberapa malu Kemenkeu. Itu kalau urat malunya masih ada, karena perilaku menyimpang ini tampak berjalan sistematis dan terorganisir.
Tapi, ada satu hal menarik, yang menjadi "insight" tersendiri, yakni celah yang membuatnya terkuak ke permukaan. Celah itu bahkan datang dari satu perilaku umum di media sosial, yakni perilaku "flexing" alias suka pamer.
Seperti diketahui, skandal besar ini sebenarnya terkuak secara tak sengaja, setelah kasus penganiayaan yang dilakukan seorang anak eks pegawai Ditjen Pajak mencuat.
Meski pelaku sudah ditahan bersama para tersangka lainnya, kasus ini bagai jadi kunci yang membuka masalah korupsi di Kemenkeu. Meski pada prosesnya berjalan rapi, ternyata perilaku suka pamer oknum pejabat korup ini terlihat secara vulgar.
Kalau bukan si oknum pejabat, anggota keluarganya yang biasa pamer harta.
Ada yang punya koleksi barang mewah, pesawat pribadi, sampai rumah bak istana. Â Benar-benar satu contoh sempurna dari pemeo "tidak ada kejahatan yang sempurna".
Semua terpampang rapi sebagai jejak digital. Makanya, bukan kejutan kalau belakangan ada banyak pejabat yang berlomba menghapus postingan di media sosial, bahkan menghapus akun mereka.
Tapi, berkat kejelian warganet Indonesia, masih ada begitu banyak informasi yang bisa dikumpulkan dan viral. Karenanya, bukan kejutan kalau KPK menggandeng warganet Indonesia sebagai mitra.
Terlepas dari isu "doxing" atau pelanggaran privasi, pengumpulan informasi seputar gaya hidup mewah oknum pejabat dan keluarganya memang jadi satu kunci dalam menjalankan upaya pemberantasan korupsi. Darinya jugalah, kita akan mendapat kepastian, apakah selentingan yang beredar di masyarakat valid atau tidak.