Entahlah, tapi kalau PSSI masih bersikeras membedakan pemain naturalisasi dengan pemain lokal, ini adalah satu praktik diskriminasi. PSSI boleh saja mendorong narasi "local pride" atau semacamnya ke media.
Tapi, ini bisa jadi kontraproduktif, karena kompetisi masih amburadul di level senior dan vakum di level junior. Ironisnya, masih banyak narasi bernada "overproud" soal kiprah pemain keturunan Indonesia di luar negeri, sekaligus menjelaskan minimnya hal yang bisa dibanggakan dari sepak bola nasional.
Kalau para pemain naturalisasi ini memutuskan kembali ke negara awalnya (seperti pada kasus Sergio Van Dijk) tentu ini bisa jadi perseden buruk. Apalagi, kalau proyek mencari pemain keturunan Indonesia masih berlanjut.
Negara yang bangga dengan keragaman dan kepelbagaiannya justru masih punya sisi diskriminatif layaknya di era kolonial. Apa kata dunia?
Di sisi lain, kebijakan PSSI kali ini menghadirkan satu gambaran meragukan, soal bagaimana era Erick Thohir berjalan. Setelah mengingkari janji memutar Liga 2 dan 3, aturan kuota batasan pemain naturalisasi jadi satu keraguan lain, yang muncul.
Memang, eks pemilik Inter Milan itu punya rekam jejak panjang di sepak bola, tapi kebijakan ini malah membuat sudut pandangnya terlihat sempit. Sepak bola adalah satu olahraga yang menjunjung tinggi nilai universal, kenapa malah menghadirkan satu kebijakan yang terkesan diskriminatif?
Mungkin, setelah ini akan klarifikasi, khususnya setelah ada gaduh lebih kencang. Sekalipun akhirnya ada pembatalan, jujur saja, saya justru pesimis dengan kepengurusan PSSI kali ini.
Mereka tidak bergerak memperbaiki masalah kronis yang mendasar, seperti ketiadaan kompetisi dan sistem pembinaan pemain muda, tapi justru membuat keputusan aneh, yang sebenarnya berawal dari kebijakan mereka sendiri soal naturalisasi pemain.
Satu lagi, kepengurusan PSSI kali ini tampaknya punya kelemahan cukup parah dalam hal komunikasi kebijakan ke publik. Kalau belum apa-apa sudah serba gaduh, rasanya sulit untuk mengharapkan ada kemajuan berarti.
Komunikasi kebijakan saja masih belepotan, apa bisa membenahi kekacauan, bahkan mencatat prestasi tinggi?
Seharusnya, kekurangan ini bisa segera disadari dan diperbaiki, kalau tidak, tidak ada lagi yang bisa diharapkan di sini.