Judul di atas adalah satu pertanyaan yang muncul di pikiran saya, dan mungkin sebagian publik sepak bola nasional, terkait kebijakan PSSI untuk pemain naturalisasi di liga Indonesia musim depan.
Seperti diketahui, PSSI menetapkan kuota batasan pemain naturalisasi di setiap klub menjadi dua pemain per tim, dari yang sebelumnya tidak dibatasi.
Di satu sisi, ini bisa dipahami sebagai cara mengatasi kesenjangan kualitas di setiap tim. Dengan kualitas kurang lebih mirip dengan pemain asing, tim yang punya banyak pemain naturalisasi memang punya keuntungan tersendiri, minimal dari sisi kedalaman kualitas tim.
Masalahnya, PSSI seperti lupa, para pemain naturalisasi ini sudah berstatus WNI, sama dengan pemain lokal. Mereka punya KTP, dan sudah sah secara legal menjadi WNI, bahkan ada yang jadi pemain andalan Timnas Indonesia, misalnya Marc Klok dan Stefano Lilipaly.
Mereka memenuhi syarat dan sudah mentaati aturan untuk menjadi WNI. Kenapa harus dibedakan?
Di dunia ini, hanya ada istilah warga negara asing dan warga negara setempat. Tidak ada istilah warga negara naturalisasi.
PSSI tampaknya juga lupa, seberapa getol mereka dulu, saat berusaha mencari pemain keturunan Indonesia untuk dinaturalisasi, atau pemain asing yang memang ingin jadi WNI.
Kalau mereka dulu dikejar-kejar hanya untuk dibatasi ruangnya, ini memalukan. Negara sekelas Italia, Jerman, dan Argentina saja punya pemain keturunan asing, tapi mereka tidak melakukan pembatasan, karena mengutamakan kualitas daripada "tingkat kandungan dalam negeri" (TKDN) karena mereka manusia, bukan ponsel.Â
Apakah pemain blasteran yang sejak awal sudah memilih jadi WNI (misal Elkan Baggott dan Ronaldo Kwateh) akan dibatasi juga?