Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia mendapat dua kasus  kriminal yang cukup menarik perhatian.
Pertama, kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Ferdy Sambo kepada Brigadir Joshua (semasa masih berpangkat Jenderal Polisi bintang dua) yang disambung kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satriyo (putra pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu, yang belakangan dicopot).
Seperti diketahui, kasus pertama sudah ketok palu, dengan hakim memvonis hukuman mati buat terdakwa, sementara itu kasus kedua masih belum disidang, meski pelaku sudah ditahan dan dikeluarkan dari kampusnya.
Dari banyak bahasan yang muncul, baik di media massa maupun medsos, kebanyakan orang mungkin akan menyebut "aduan dari pasangan pelaku" atau "sisi arogan oknum pembesar" sebagai satu benang merah sekaligus pemicu.
Tapi, ada satu benang merah lain berupa momentum "bersih-bersih institusi negara" yang kebetulan hadir di dua momen ini.
Pada kasus Ferdy Sambo, sejumlah masalah di tubuh Polri terkuak. Presiden Jokowi bahkan sampai mengundang para petinggi kepolisian ke Istana Negara, tanpa diperbolehkan membawa tongkat komando, atribut pangkat, maupun ajudan.
Kasus ini sempat membuat citra kepolisian dan kredibilitas penegakan hukum dipertanyakan. Dalam situasi kurang nyaman ini, upaya bersih-bersih di tubuh kepolisian pun dilakukan, dengan diantaranya memberhentikan seorang jenderal polisi, karena diduga menghambat proses penyelidikan.
Beruntung, vonis tegas hakim, pemberhentian tidak dengan hormat kepada Ferdy Sambo, ditambah vonis proporsional untuk Bharada Eliezer (tersangka yang jadi "justice collaborator") membuat situasi membaik.
Uniknya, tak lama setelah sidang kasus pembunuhan berencana itu tuntas, muncul kasus kriminal lain, yang ikut menyeret institusi negara, dalam hal ini Ditjen Pajak Kemenkeu.
Berawal dari aksi penganiayaan Mario Dandy Satriyo kepada David Latumahina, masyarakat kembali dibuat heboh, karena kasus ini ternyata punya dimensi jauh lebih luas dari "perkelahian dua anak muda".
Pelaku yang terpancing emosi karena aduan sang pacar soal perbuatan mantan pacarnya (dalam hal ini korban) berani bertindak bar-bar sampai membuat korban tak sadarkan diri.
Kalau dia bukan anak pejabat, nyali sebesar itu mungkin tidak ada. Kalau korban berasal dari golongan biasa dan kasus ini tidak viral, sosok sekaliber Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama yang juga ketua GP Ansor, salah satu Badan Otonom NU) dan Menkeu Sri Mulyani juga belum tentu akan langsung bereaksi.
Masalahnya, korban adalah anak seorang petinggi GP Ansor, sedangkan pelaku adalah putra pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu, dan kasus ini viral.
Jadi, bukan kejutan kalau banyak pihak mendesak Kemenkeu melakukan bersih-bersih. Apalagi, ayah pelaku punya banyak aset, dengan jumlah rekening fantastis. Karenanya, gaya hidup pelaku terbilang hedonis dan viral di media sosial.
Sebagai tindak lanjut, Menkeu memang mencopot jabatan ayah pelaku, dan Ditjen Pajak juga merilis pernyataan resmi. Ini bagus untuk menginginkan suasana dalam jangka pendek.
Tapi, untuk jangka panjang, seharusnya ini bisa jadi momentum untuk bersih-bersih institusi. Meski hanya dipicu ulah anak seorang oknum, kredibilitas institusi dan kepercayaan masyarakat jadi taruhan.
Ada jutaan orang di negeri ini berusaha taat pajak, sekalipun penghasilan mereka pas-pasan dan berkejaran dengan waktu supaya tak kena denda.
Jika sikap ini dibalas dengan tingkah seenaknya anak oknum pejabat, dan rekening gendut oknum pejabat, jangan salahkan publik kalau mereka enggan membayar pajak.
Buat apa taat bayar pajak, kalau ujungnya begitu?
Masyarakat tidak bodoh. Ini bukan soal bijak atau tidak, ini soal pantas atau tidak.
Butuh kesadaran di sini, dan selama itu masih tidak ada, rasanya semua momentum ini akan sia-sia. Situasi akan kembali tenang setelah keriuhan reda, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Mengenaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H