Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jurnalisme Karbitan, Sebuah Fenomena

19 Februari 2023   02:40 Diperbarui: 19 Februari 2023   05:48 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era digital ini, informasi datang dalam jumlah banyak dan cepat. Sebuah kemajuan yang seharusnya berdampak positif, karena membuat informasi melimpah bisa didapat dengan mudah, bahkan hanya dengan satu klik.

Tapi, ibarat dua sisi mata uang, di balik manfaatnya, banjir informasi yang cepat itu, terdapat juga sisi negatif berupa kemunculan fenomena jurnalis karbitan.

Dalam beberapa kesempatan, fenomena ini sempat saya temui di dunia maya. Salah satu bentuk paling umum datang dari kehadiran lowongan kerja menjadi penulis di media digital.

Bagi mereka yang terbiasa atau tertarik menulis, mungkin ini terlihat menarik. Apalagi, tidak ada syarat khusus soal pendidikan atau pengalaman bekerja.

Siapa berminat, dia bisa mendaftar. Kesempatannya bisa dibilang cukup terbuka, karena kandidat yang dijaring biasanya sangat banyak, antara puluhan sampai ratusan orang.

Para kandidat ini biasanya dikumpulkan dalam satu wadah pelatihan singkat alias diklat selama beberapa hari. Selama masa pelatihan itu, ada sejumlah teori dan praktek maraton yang langsung disantap seperti makan menu mukbang.

Deskripsi saya mungkin agak kurang enak dibaca, tapi menjadi relevan karena menu pelatihan yang disantap adalah versi supersingkat dari apa yang seharusnya dipelajari secara mendalam. Seperti buah yang dikarbit.

Satu bagian yang agak menyeramkan di sini adalah, ada target menulis artikel (termasuk berita) perhari dengan jumlah minimal beragam. Ada yang 5, 10, bahkan lebih, tergantung kebijakan masing-masing.

Mungkin ini terdengar menyenangkan bagi mereka yang suka menulis, tapi ini bisa menghadirkan kejutan besar secara psikologis, terutama bagi yang terbiasa menulis 1-2 artikel sehari.

Bayangkan, dari hanya 1-2 artikel sehari menjadi minimal 5 bahkan 10 artikel sehari, dengan jumlah kata minimal 300-400 kata. Bisa terbayang seberapa kocar-kacirnya si penulis.

Memang, ada iming-iming potensi pemasukan besar, tapi karena itu tergantung jumlah trafik atau klik, tidak banyak yang bisa diharapkan. Apalagi kalau pendapatan itu dibayar dalam waktu  1-2 bulan, bahkan lebih.

Kalau jumlah pendapatannya sudah pasti puluhan juta rupiah, mungkin layak diperjuangkan, tapi tidak kalau hanya mentok di angka puluhan atau ratusan ribu rupiah. Terlalu lama, tidak sebanding dengan usaha yang sudah dilakukan.

Mengingat targetnya ratusan artikel sebulan, kita juga tidak bisa menjamin, apakah yang ditulis itu benar-benar dibuat sepenuh hati, atau hanya asal sadur demi kejar target.

Di sisi lain, fenomena "pengkarbitan" ini secara jujur juga menampilkan satu sisi kejam media digital di Indonesia. Ada tekanan kompetisi sedemikian besar, yang membuat sebagian media seolah jadi "gelap mata".

Entah karena tidak mampu merekrut tenaga profesional atau belum siap menggunakan teknologi kecerdasan buatan, menciptakan jurnalis karbitan justru jadi satu alternatif cukup populer.

Maklum, upahnya bergantung dari klik, dengan sistem kemitraan dan bagi hasil. Bukan status pegawai dan sistem gaji.

Kalau konsepnya "jurnalisme warga" atau ruang opini yang tidak menekankan target spesifik, itu justru bisa memberi ruang berkembang. Sekali lagi, ini kalau jurnalisme warga, bukan jurnalisme "warga" dengan memakai sistem kerja ala  profesional.

Padahal, seorang yang suka menulis tetap punya batas toleransi stres masing-masing. Ada saatnya jeda, ada saatnya tancap gas. Suka menulis bukan satu alasan untuk memperlakukan seseorang seenaknya.

Akan sangat menyakitkan, kalau seseorang dibuat patah hati dengan menulis, hanya karena dieksploitasi sedemikian rupa. Sudah pemasukan tidak pasti, masih dapat risiko tidak aman (saat liputan langsung) karena hanya dianggap mitra tanpa kartu identitas, bukan anggota resmi media.

Lebih celaka lagi kalau fenomena ini membuat minat menulis di Indonesia yang sudah tipis jadi semakin tipis. Amsyong.

Jangan lupa, sebuah berita atau tulisan serius seharusnya punya satu pertanggungjawaban moral kepada pembaca. Pembaca berhak mengakses bacaan yang layak, karena akan berpengaruh pada sikap dan perilaku mereka.

Kalau ternyata sikap dan perilaku yang ada buruk karena mendapat asupan informasi berkualitas buruk, sudah sewajarnya. Kualitas sebagus apa yang bisa diharapkan dari produk kejar target dan kejar tayang?

Berangkat dari fenomena ini, ditambah kebiasaan memberi judul "clickbait" dan budaya malas membaca di sebagian masyarakat Indonesia, sudah seharusnya strategi menciptakan "jurnalis karbitan" mulai diperhatikan dan ditertibkan.

Sebagai sebuah unit bisnis, mencari profit sebanyak mungkin memang jadi kebutuhan media untuk tetap eksis, tapi bukan berarti mereka boleh memakai cara-cara yang tidak seharusnya.

Untuk jangka pendek, mungkin ini akan berhasil, tapi tidak untuk jangka panjang. Sebesar apapun profitnya, kalau caranya kurang pantas, cepat atau lambat akan mendatangkan dampak negatif, misalnya cap media sebagai sarana pembodohan publik.

Semoga itu tidak terjadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun