Ini adalah satu keuntungan, karena dianggap saingan oleh para jenius bisa membuat suasana sangat toksik.
Jadi, ada semacam timbal balik di sini, karena ada satu benang merah: kami saling memanfaatkan dalam perspektif masing-masing.
Mereka bisa bersenang-senang atau fokus dengan kegiatan masing-masing, saya bisa belajar dan mengumpulkan modal untuk bersenang-senang. Cukup adil.
Bagi saya yang berkebutuhan khusus secara fisik, rasa aman ini adalah satu hal yang sangat penting. Apalagi, saya waktu itu jadi satu-satunya "makhluk asing" diantara "orang normal" di sekolah.
Walaupun kadang masih saja dapat siksaan mental berupa kena "bully" sebagian oknum, setidaknya saya masih aman sentosa dari sisi fisik. Sisi yang sekilas mustahil lolos dari masalah justru jadi paling bebas masalah.
Di sisi lain, mereka yang kadang menjadikan saya joki dadakan juga menampilkan sisi lain berupa kesetiakawanan. Dalam berbagai kesempatan, mereka jadi orang-orang yang  mau membantu saat dibutuhkan, dan punya tenaga yang sangat bisa diandalkan.
Saat seleksi masuk kuliah, permintaan jadi joki tes sempat datang lagi. Beberapa  teman saat itu merasa panik karena batas waktu pendaftaran masuk universitas dan tanggal masuk perkuliahan sudah dekat.
Tapi, berbeda dengan sebelumnya, kali ini saya berkata tidak, karena mereka saat itu sudah berhasil lulus ujian nasional SMA. Jadi, seharusnya tes masuk universitas bukan perkara berat. Terbukti, mereka akhirnya lolos tes dengan kemampuan sendiri.
Setelah lulus kuliah, dunia perjokian juga sempat saya temui, saat diminta beberapa teman menjadi tutor skripsi atau tesis mereka.
Tentu saja, saya tidak menolak, karena mereka umumnya terjebak masalah kurang lebih mirip: ada niat belajar, tapi bingung karena tidak terbiasa belajar sendiri.
Berhubung kemampuan tangan saya dalam mengetik cukup terbatas, saya hanya memberikan arahan, dan meminta mereka mempelajari, supaya paham dengan apa yang mereka kerjakan.