Mencuatnya sorotan pada profesi "Joki Ilmiah",:mungkin membuat sebagian orang  merasa bingung. Kenapa fenomena semacam ini bisa hadir, bahkan di kalangan intelektual?
Kalau boleh disebut secara simpel, jawabannya adalah, "karena budayanya memang seperti itu".
Jawaban saya mungkin terdengar kurang enak, tapi jawaban ini hadir, karena saya sudah menjumpainya sejak remaja, tepatnya semasa SMA. Saat itu, saya memang sempat jadi "joki tugas" dadakan di beberapa kesempatan.
Penyebabnya secara umum ada dua. Pertama, mereka yang meminta bantuan saya memang bingung dengan tugas yang harus dikerjakan. Kedua, mereka memang tidak mau ribet, kalau tidak boleh dibilang malas.
Tapi, dua faktor ini jadi satu hal yang berkelindan dengan tekanan untuk tidak mengecewakan orang tua. Makanya, ada nyali untuk mencoba jalan pintas.
Mungkin, ini yang disebut "The Power of Kepepet".
Sebetulnya, ini terasa agak tidak adil secara kompetitif, karena tugas yang saya kerjakan dan tugas yang saya buatkan mendapat nilai di kisaran yang kurang lebih sama. Tapi, karena itu bisa membuat saya lebih banyak belajar, itu hanya terasa tidak enak di awal.
Selebihnya, menjadi joki tugas (sampai saya lulus sekolah) justru membantu saya secara finansial dan keamanan. Secara finansial, saya dapat pemasukan dari ongkos cetak dan lain-lain, yang cukup untuk belanja buku, beli pulsa atau nonton film, tanpa harus minta tambahan uang jajan ke orang tua.
Secara keamanan, menjadi joki tugas juga cukup membantu, karena dari sinilah saya justru mendapat respek dari teman-teman yang dianggap "bengal" atau semacamnya.
Uniknya, posisi sebagai "joki" juga membuat saya aman dari gangguan para jenius, karena saya jadi tidak pernah dianggap sebagai musuh atau saingan. Penyebabnya, mereka juga pernah menjadikan saya "joki tugas", saat sedang kerepotan dengan jadwal lomba.