Bicara soal kiprah Barcelona musim 2022-2023, sebenarnya ada warna-warni yang cukup kontras. Misalnya, meski punya hutang seabrek, mereka cukup aktif berbelanja pemain, terutama di musim panas, setelah mengaktifkan tuas ekonomi klub.
Di lapangan, anak asuh Xavi Hernandez turun kelas ke Liga Europa, tapi menjanjikan di kompetisi domestik, dengan menjuarai Piala Super Spanyol, memimpin klasemen sementara La Liga Spanyol, dan menapak babak semifinal Piala Raja.
Dengan sifat serba kontradiktif yang dihadirkannya, musim ini mungkin terasa campur aduk bagi para Cules. Mau dibilang bagus masih kurang, mau dibilang
jelek ternyata kurang tepat.
Bukan melebihkan atau mengurangi, tapi begitulah adanya. Mungkin, apa yang diperlihatkan Barca saat ini masih belum ada apa-apanya dengan era keemasan klub 10-15 tahun lalu.
Tapi, dengan kondisi finansial klub yang belakangan ambyar dan kehilangan pemain sekelas Lionel Messi, ini adalah satu kemajuan, sekaligus definisi efektif dari "percaya proses" di era Joan Laporta.
Di bawah kepemimpinan pengagum Johan Cruyff ini, Blaugrana tak hanya sibuk jual beli pemain dan memperbaiki kondisi keuangan tim.
Ada juga upaya membangun sistem permainan tim, yang prosesnya sudah dimulai sejak Xavi Hernandez mulai bertugas di kursi pelatih sejak pertengahan musim 2021-2022.
Meski ketika itu masih inkonsisten, periode awal sang legenda di kursi pelatih rupanya menjadi satu masa transisi untuk membangun ulang sistem dan menaikkan level kualitas tim.
Hasilnya langsung ketika menjalani musim penuh pertama di klub Katalan. Ada permainan mengalir seperti pada era keemasan tiki-taka, dengan tambahan intensitas dan keberanian untuk melakukan "pressing".
Sistem permainan yang mulai terbentuk ini juga didukung dengan rekrutmen top seperti Robert Lewandowski dan Jules Kounde yang mampu berpadu padan dengan talenta muda macam Gavi dan Pedri.
Memang, Los Cules masih belum mampu lolos dari fase grup Liga Champions, yang memang bertekanan sangat tinggi. Tapi, mereka sudah mulai terbiasa dengan pacuan maraton di liga, dan mampu memanfaatkan grafik menurun tim rival.
Jadi, meski kalah di El Clasico jilid satu, kekurangan ini mampu ditutup dengan hasil positif saat Real Madrid tumbang atau gagal meraih kemenangan. Sebagai contoh, saat Real tumbang 0-1 dari Real Mallorca, Barca mampu merespon dengan kemenangan 3-0 atas Sevilla.
Hasil ini membuat The Catalans unggul 8 poin atas sang juara bertahan, dan membuka asa mengejar trofi liga. Sebuah progres dari proses yang sejauh ini sudah dibangun.
Di sisi lain, kemajuan Azulgrana sejauh ini juga menunjukkan, ada tekanan dan harapan besar yang mampu dikelola dengan baik menjadi hasil positif di liga.
Soal tekanan, itu hadir dari pengeluaran besar klub di bursa transfer musim panas lalu. Dengan mengaktifkan tuas ekonomi, Â Laporta dan manajemen klub sebenarnya bertaruh cukup besar.
Andai berhasil juara liga dan Copa Del Rey, mungkin ini bisa seimbang dengan dana yang sudah dipertaruhkan. Setidaknya, Â kerugian karena turun kelas ke Liga Europa juga bisa diminimalkan.
Jika tidak, mungkin ini akan jadi mimpi buruk lain buat kubu Nou Camp, setelah diterpa bencana keuangan akibat salah urus di era Josep Maria Bartomeu dan terpaan pandemi.
Dengan demikian, kita akan melihat lagi Barca yang selalu ingin menang seperti dulu, karena kemenangan akan semakin mendekatkan tim pada trofi juara dan pemasukan lebih besar
Selama Robert Lewandowski dkk masih bisa menikmati tekanan (dan kesulitan) yang ada, Piala Super Spanyol bukan trofi terakhir yang diraih. Inilah satu titik yang nantinya bisa jadi batu loncatan bagi Barca, untuk kembali menjadi salah satu tim unggulan di Liga Champions.
Mampukah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H