Bicara soal kiprah Chelsea musim ini, kata membingungkan mungkin jadi satu deskripsi sederhana yang bisa merangkumnya secara bernas. Disebut demikian, karena meski punya dana melimpah dan aktif berbelanja pemain, performa mereka tidak lebih buruk dari Liverpool yang sedang babak belur diganggu masalah cedera pemain.
Di bursa transfer, Si Biru memang gahar. Dalam dua kali bursa transfer saja, dana yang digelontorkan mencapai lebih dari 600 juta pounds, dengan sebagian diantaranya dihabiskan untuk memboyong pemain seperti Marc Cucurella, Mikhaylo Mudryk, Enzo Fernandez, Kalidou Koulibaly dan Raheem Sterling.
Kalau ini terjadi di tahun-tahun awal era Roman Abramovich, tim seperti ini sudah pasti mampu bersaing di jalur juara. Targetnya pun tak tanggung-tanggung: mengejar trofi sebanyak mungkin. Kalau gagal,langsung ganti pelatih.Â
Tapi, di era Todd Boehly, dana sebanyak itu jadi terlihat membingungkan. Banyak talenta elit, tapi tim malah tertahan di papan tengah Liga Inggris.
Kebingungan yang ada juga semakin lengkap, ketika Thomas Tuchel yang sukses membawa tim juara Liga Champions dicopot dari kursi pelatih. Kalau penggantinya sekelas Zinedine Zidane yang sudah terbukti sukses di Real Madrid, mungkin semua orang bisa melihat, sebesar apa ambisi klub di era bos baru.
Masalahnya, ketika yang datang adalah pelatih sekaliber Graham Potter, rasanya cukup membingungkan. Dia jelas bukan Harry Potter yang bisa mengubah sesuatu dalam sekejap. Ditambah lagi, eks pelatih Swansea City ini dikontrak selama lima tahun.
Kalau memakai perspektif "local pride" versi Inggris, Potter memang salah satu pelatih lokal terbaik saat ini, karena mampu memoles Brighton menjadi tim kuda hitam Liga Inggris dengan gaya main menyerang.
Ini memang rekam jejak bagus, tapi kurang sinkron dengan gelontoran dana lebih besar dari proyek Los Galacticos Real Madrid era Fiorentino Perez beberapa tahun lalu. Terbukti, meski sudah kedatangan banyak pemain baru, langkah The Blues masih loyo.
Di liga, mereka hanya mampu mencatat 1 kemenangan di 5 laga terakhir, dengan 2 hasil imbang tanpa gol di dua partai terakhir, termasuk saat bertemu Fulham, Sabtu (4/2, dinihari WIB).
Mirisnya, Thiago Silva dkk juga tak bisa  berbuat banyak, saat disikat Manchester City 0-4 di Piala FA. Tim yang tampak sedang coba dibangun ulang ini tampak kebingungan mencari identitas: mau main agresif, lini serang masih tumpul, mau defensif lini belakang malah rawan bocor.
Dari segi taktik, Chelsea sendiri juga sudah lama identik dan banyak meraih sukses dengan pelatih bergaya main pragmatis. Jadi, perlu waktu untuk melihat tim ini bisa kembali sukses setelah mengubah lagi ciri khas gaya mainnya.
Dengan keruwetan yang ada saat ini, ditambah "kesabaran" manajemen klub pada Potter, satu-satunya yang bisa dimengerti adalah, musim ini tampaknya akan jadi satu masa transisi buat klub penghuni. Stadion Stamford Bridge, untuk mengubah gaya sepak bola pragmatis warisan era Roman Abramovich ke gaya main yang lebih terbuka.
Untuk urusan ini, jelas terlihat kalau Todd Boehly dan kolega ingin coba mengikuti cerita sukses Manchester City bersama Pep Guardiola, dengan sedikit sentuhan lokal Inggris.
Kalau berhasil, inilah "gol" mereka, tapi kalau tidak, Chelsea hanya akan menjadi "Everton jilid dua" dalam beberapa tahun kedepan.
Manakah yang akan terjadi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H