Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Egy-Witan, Kepulangan dan Sebuah Realita

31 Januari 2023   21:08 Diperbarui: 31 Januari 2023   21:10 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, sepak bola nasional turut diwarnai kiprah pemain muda Indonesia di luar negeri. Dari beberapa nama yang jadi sorotan, nama Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman bisa dibilang mampu menarik cukup banyak perhatian.

Maklum, dua pemain kidal ini sama-sama bermain di Eropa Timur, dengan sama-sama pernah dikontrak Lechia Gdansk (Polandia) bahkan pernah satu tim di FK Senica (Slovakia). 

Bedanya, Witan sempat bermain sebentar di Radnik Surdulica (Serbia) sebelum bermain di Polandia dan Slovakia. Uniknya, mereka juga sama-sama menjalani periode kurang menguntungkan dalam bulan-bulan terakhir di Slovakia.

Witan sempat mencetak 4 gol dan mencatat selusin penampilan bersama AS Trencin (klub papan atas Liga Slovakia) sementara Egy hanya tampil 8 kali (kebanyakan sebagai pengganti) tanpa mencetak gol bersama Zlate Moravce.

Akibat catatan minor bersama Zlate, Egy memutuskan berpisah dengan klub kasta tertinggi Liga Slovakia itu, dan memperkuat Timnas Indonesia di Piala AFF 2022 dengan masa depan yang masih tanda tanya.

Belakangan, Si Kelok 9 akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia, dengan bergabung ke Dewa United, Senin (30/1) lalu.

Bersama klub promosi Liga 1 itu, Egy diikat kontrak sampai tahun 2027, dan diizinkan hengkang jika mendapat kesempatan untuk kembali bermain di luar negeri. Sebuah klausul yang tidak biasa, tapi bisa jadi menguntungkan kedua belah pihak.

Dewa United butuh pemain yang bisa membuat tim lebih kuat, sementara Egy butuh banyak menit bermain. Sesuatu yang tidak sering didapatnya di Eropa, dan itu terbukti memengaruhi performa di tim nasional.

Sehari berselang, keputusan Egy pulang ke Indonesia juga diikuti oleh Witan, yang memutuskan bergabung dengan Persija Jakarta dengan kontrak selama 3,5 tahun.
Tentu saja, keputusan ini cukup mengejutkan, karena Witan sebetulnya tampil cukup baik dan masih bisa berkembang di AS Trencin.

Tapi, kalau boleh dilihat lagi, ada satu benang merah yang membuat keputusan "pulang" dua alumnus SKO Ragunan ini terasa masuk akal.

Mereka butuh tim yang bisa memberi menit bermain sebanyak mungkin, bukan tim yang hanya punya program latihan rutin dan memburu followers sebanyak mungkin di media sosial.

Memang, keputusan dua eks pemain Timnas U-19 bermain di Indonesia bukan jenis keputusan yang enak diberitakan media atau dibaca publik sepak bola nasional. Apalagi, selama mereka berkiprah di Eropa, ada banyak konten-konten "lebay" di media sosial yang justru jadi bumerang.

Realita muram ini terbukti jadi satu bukti kalau ada faktor cukup kompleks yang membuat pemain indonesia masih belum bisa awet berkiprah di Eropa, kecuali mereka adalah pemain berstatus "homegrown" seperti Elkan Baggott di Ipswich Town (Inggris).

Selain karena status mereka sebagai pemain non-Uni Eropa (yang kuotanya terbatas) ada situasi serba tidak sinkron antara program pelatnas dan klub.

Seperti diketahui, Timnas Indonesia biasa menggelar pelatnas jangka panjang, yang membuat pemain terpaksa absen dari klub. Ditambah lagi, PSSI kadang masih berusaha menarik pemain di Eropa untuk bermain di turnamen di luar kalender FIFA seperti Piala AFF.

Untuk kasus ini, sebenarnya ada klub yang berani menolak. Tepatnya, saat Elkan Baggott tidak diizinkan bergabung oleh Ipswich Town. Masalahnya, ketika ada klub yang dengan senang hati melepas, seperti pada kasus Egy dan Witan, ini bisa jadi kesempatan untuk berpisah.

Bagamanapun, sebagai klub profesional, mereka punya program latihan rutin dan beragam persiapan kompleks yang sudah terencana rapi. Jika ada satu pemain yang tidak sinkron dengan rencana olahraga klub, mereka jelas akan melepas saat ada kesempatan.

Lebih baik kehilangan satu pemain daripada satu tim jadi kacau hanya karena memprioritaskan satu pemain yang sering keluar masuk tim. Sesederhana itu.

Karenanya, tidak mengherankan kalau cerita berbeda malah hadir dari para pemain indonesia di liga-liga Asia, yang secara kalender kompetisi masih sinkron dengan agenda Timnas Indonesia di Piala AFF, turnamen yang entah kenapa masih jadi satu obsesi buat PSSI.

Terbukti, Saddil Ramdani masih diandalkan Sabah dan memperpanjang kontrak bersama klub kasta tertinggi Liga Malaysia itu. Di Korea Selatan, Asnawi Mangkualam pindah ke Jeonnam Dragons, setelah mencatat 40 penampilan dalam 2 tahun bersama Ansan Greeners.

Tak lupa, ada juga Pratama Arhan yang memperpanjang kontrak bersama Tokyo Verdy. Meski di tahun pertamanya jarang bermain, bek ahli lemparan jauh ini terbukti masih diandalkan di lini belakang Timnas Indonesia. 

Kini, dengan bermainnya Egy dan Witan di Liga 1, ada satu tantangan yang menanti: apakah mereka bisa main bagus atau tidak. Jika bisa, kesempatan bermain di luar negeri (khususnya di Asia) seharusnya masih terbuka.

Menariknya, kisah dua pemain yang diageni Dusan Bogdanovic (Serbia) ini menjadi satu contoh aktual, yang mempertegas carut-marut di sepak bola nasional.

Mereka adalah hasil dari tidak adanya sistem pembinaan pemain muda yang baku dan terpadu. Ada talenta, tapi kurang diarahkan di awal, karena tak ada sistem untuk itu, seperti yang sudah banyak dialami pemain lain sebelumnya. 

Kalaupun ada program, sifatnya jangka pendek dan kurang efektif, seperti SAD Uruguay dan Garuda Select di era modern.

Jelas, ini masih jadi PR yang belum kunjung tuntas buat PSSI, dan pihak-pihak terkait. Harus ada perbaikan serius, yang benar-benar memperbaiki kekurangan saat ini.

Kalau tak ada perbaikan serius, jangan kaget kalau kelak kita masih akan melihat, pemain Indonesia yang main di kompetisi kasta tertinggi Eropa hanya bersinar saat jadi "magnet penarik followers" buat akun media sosial klub ketimbang bersinar di lapangan hijau, karena untuk itulah mereka didatangkan.

Pahit, tapi begitulah dinamika sepak bola era industri: cuan adalah koentji. Tidak ada yang layak dibanggakan, apalagi sampai berlebihan, karena itu terbukti percuma di banyak kesempatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun