Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Everton, dari Potensi ke Turbulensi

26 Januari 2023   21:57 Diperbarui: 26 Januari 2023   22:03 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal perjalanan Everton, khususnya dalam beberapa tahun terakhir, jika boleh dirangkum dalam satu kalimat, maka judul di atas adalah rangkuman ideal.

Seperti diketahui, klub berseragam biru itu sebenarnya tergolong salah satu klub tersukses di Liga Inggris, dengan torehan 9 gelar Liga Inggris dan Community Shield plus 5 gelar Piala FA. Mereka juga hanya absen tampil di kasta tertinggi pada musim  1930--31, 1951--52, 1952--53 dan 1953--54.

Meski terakhir kali juara Liga Inggris pada musim 1986-1987 dan terakhir kali meraih gelar tahun 1995 (Piala FA dan Community Shield) klub rival sekota Liverpool ini bisa dibilang cukup disegani, karena kerap jadi lawan alot buat tim papan atas.

Tak cukup sampai disitu, di era modern klub yang mengorbitkan Wayne Rooney ini juga pernah finis di posisi empat besar Liga Inggris musim 2004/2005, beberapa kali tampil di Liga Europa, dan lolos ke final Piala FA musim 2008-2009 di bawah asuhan David Moyes. Sebuah prestasi yang membuatnya dipilih sebagai penerus Sir Alex Ferguson di Manchester United.

Dari rekam jejak itu, tidak berlebihan kalau sebagian Evertonian berani bermimpi tinggi, tepatnya sejak Farhad Moshiri menjadi pemegang saham terbesar klub sejak awal tahum 2016, sebelum akhirnya menguasai 94 persen saham klub di tahun 2022.

Sejak berada di bawah komando pebisnis Inggris keturunan Iran itu, The Toffees menggelontorkan total dana sekitar 700 juta pounds untuk transfer pemain dan mencanangkan proyek pembangunan stadion baru senilai 500 juta pounds di area Pelabuhan Barnsley Moore, pesisir kota Liverpool.

Tapi gelontoran dana itu tidak efektif, karena tidak ada rencana jangka panjang yang jelas. Apa boleh buat, sekalipun mendatangkan pelatih juara Liga Champions sekaliber Carlo Ancelotti dan Rafael Benitez, plus direktur teknik sekelas Marcel Brands (yang sukses bersama PSV Eindhoven) mimpi dan dana besar itu justru jadi satu penyebab turbulensi.

Carletto hanya mampu membawa Tim Merseyside Biru finis di papan tengah Liga Inggris, sebelum memutuskan kembali ke Real Madrid untuk mengawinkan trofi La Liga dan Liga Champions di akhir musim 2021-2022.

Sementara itu Benitez hanya bertahan sampai Januari 2022, sebelum diganti Frank Lampard, yang juga dicopot persis setahun kemudian, juga di bulan Januari. Untuk sementara, posisi legenda Chelsea itu diisi Leighton Baines, mantan kapten yang juga pelatih tim junior Everton.

Bedanya, Rafa pergi saat The Toffees terdampar di posisi 15 klasemen sementara Liga Inggris, sementara Lamps pergi saat tim terjerumus ke posisi kedua dari bawah.

Sebuah penurunan yang mengerikan, untuk ukuran klub yang tergolong royal berbelanja pemain. Dari yang dulunya bisa menyodok ke papan atas, mereka tampak menjadi tim yang bisa merayakan lolos degradasi seperti meraih gelar juara, seperti yang dirayakan begitu meriah akhir musim lalu.

Soal siapa pengganti Lampard, manajemen sebenarnya sudah berupaya mendekati Marcelo Bielsa dan Thomas Frank. Keduanya sukses membawa Leeds United dan Brentford promosi ke kasta tertinggi, bahkan mampu membuat kejutan.

Masalahnya, kedua pelatih jempolan ini sama-sama menolak, karena dengan kondisi semrawut di tim saat ini, akan sulit buat mereka untuk langsung memperbaiki performa secara drastis.

Nama-nama lain yang juga masuk radar adalah Sam Allardyce, Sean Dyche dan Wayne Rooney. Tapi, siapapun yang akhirnya terpilih nanti, tugasnya akan sangat rumit, karena harus memperbaiki performa dan kekompakan di tim, plus mendapat penerimaan positif dari suporter.

Andai tidak ada pelatih berpengalaman yang berminat, Everton praktis hanya punya satu pilihan: mempertaruhkan nasib klub di tangan Leighton Baines atau Rooney (jika ia bersedia hengkang dari DC United) yang masih minim pengalaman di level tertinggi.

Andai berhasil, Everton mungkin bisa lolos dari catatan sejarah memalukan: terdegradasi untuk pertama kalinya di era Liga Premier. Andai tidak berhasil, ini mungkin akan jadi sebuah tragedi, karena ambisi tanpa arah dan gelontoran dana besar di era Moshiri justru memicu ketidakstabilan.

Kalau pelatih juara Liga Champions bisa terlihat seperti pelatih biasa saja di Everton, bukan kejutan kalau performa pelatih yang bukan langganan papan atas (apalagi yang minim pengalaman) bisa lebih jeblok.

Sebuah realita, yang entah kenapa begitu mirip dengan tim nasional di sebuah negara kepulauan penghasil rempah-rempah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun