Hasilnya, Thiago Silva dkk memang superior di Kualifikasi Piala Dunia zona CONMEBOL dan juara Copa America 2019. Tapi, ketika bertanding di Piala Dunia 2022, kemandekan taktik yang ada terbukti jadi masalah.
Strategi ofensif yang diterapkan, tidak diimbangi dengan kemampuan mengontrol situasi dan kesiapan mental yang memadai. Apa boleh buat, CBF harus melakukan rencana pembaruan dengan melirik opsi pelatih asing.
Di tim nasional kelas dunia, pendekatan ini pernah diambil Inggris pada dekade awal 2000-an, kala dilatih Sven Goran Eriksson (Swedia) dan Fabio Capello (Italia). Langkah ini menjadi titik awal pembaruan di sepak bola Inggris, yang juga menghapus sisi konservatif mereka.
Alhasil, juara Piala Dunia 1966 itu berhasil mencapai semifinal Piala Dunia 2018 dan final Euro 2020. Meski belum berbuah trofi, langkah pembaruan FA ini terbukti mampu menaikkan level tim.
Inilah yang agaknya ingin coba ditiru Brasil, dan bisa jadi akan disegerakan, khususnya setelah mendapati Argentina, sang tetangga sekaligus rival bebuyutan, mampu meraih juara Piala Dunia di Qatar, dengan perpaduan taktik, teknik dan mental yang mantap bersama Scaloni, pelatih lokal yang awalnya hanya bertugas sebagai pelatih interim.
Menariknya, disadari atau tidak, apa yang terjadi di Timnas Brasil ini menunjukkan, kebanggaan berlebih pada "local pride" bisa menghasilkan sisi konservatif yang membatasi ruang untuk adaptasi apalagi pembaruan.
Sekali sisi konservatif itu dibiarkan menjadi terlalu kuat, itu bisa jadi awal kemunduran demi kemunduran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H