Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Melihat Jogja dari Sisi Lain

20 Januari 2023   17:32 Diperbarui: 20 Januari 2023   18:08 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal Jogja, hal-hal seperti rindu, angkringan, kenangan, budaya klasik atau tempat wisata, mungkin jadi topik bahasan paling umum. Ada juga sejumlah kampus atau sekolah favorit yang populer sampai ke tingkat nasional.

Semuanya topik positif yang sudah jadi rahasia umum. Tapi, lain cerita ketika hal-hal seperti UMK, klitih atau tingkat kemiskinan.

Ada banyak komentar "denial", bahkan saat data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dirilis. Seperti diketahui, BPS mencatat, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa per September 2022, dengan tingkat kemiskinan 11,49 persen.

Belum masuk 10 besar termiskin di Indonesia, tapi seharusnya bisa jadi catatan untuk evaluasi.

BPS sendiri biasa merilis data tiap bulan Maret dan September tiap tahunnya. Jadi, data yang jadi acuan media bisa dibilang masih data mutakhir.

Di luar persentase kemiskinan, besaran upah minimum provinsi (UMP) DIY tahun 2023 juga menjadi yang terkecil kedua di Indonesia, dengan besaran UMP Rp1.981.782 per bulan.

Itu baru angka yang ditetapkan pemerintah. Prakteknya bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Tergantung situasi di lapangan.

Fakta soal UMP dan tingkat kemiskinan memang sudah lama jadi sebuah paradoks. Salah satu wilayah yang kadang disebut menjadi destinasi terpopuler setelah Bali, ternyata masih punya sisi muram yang memprihatinkan.

Daripada sibuk bersikap "denial", sudah seharusnya para pemangku kepentingan melihat ulang akar masalahnya, sebelum akhirnya melakukan perbaikan.

Mulai dari ketimpangan ekonomi yang membuat daya beli masyarakat loyo, sampai ketergantungan besar pada sektor pariwisata yang (sebenarnya) kurang berkelanjutan.

Sebenarnya masih banyak potensi yang bisa dikembangkan, tapi tak banyak yang benar-benar digali. Akibatnya, terjadilah stagnasi cukup lama, dan masih belum terpecahkan hingga sekarang.

Hal lain yang juga bisa jadi masalah dalam jangka panjang antara lain ada pada harga tanah dan properti yang dalam beberapa tahun terakhir naik secara luar biasa. Berbanding terbalik dengan besaran UMP yang masih mengandalkan prinsip "biar lambat asal selamat".

Kalau ketimpangan yang ada tidak segera ditangani secara serius, bisa-bisa punya properti hanya akan jadi "mission impossible", dan generasi milenial kebawah akan sulit punya tempat tinggal sendiri, kecuali menang undian atau dapat warisan.

Jangankan beli rumah, beli kebutuhan sehari-hari saja sudah kerepotan karena kenaikan harga tak pernah absen hadir.

Di sisi lain, catatan dari BPS ini sudah seharusnya jadi masukan untuk perbaikan. Sudah bukan saatnya lagi berpaku pada pemeo "nrimo ing pandum" (menerima dengan ikhlas) jika itu hanya menjadi penyebab tetap langgengnya ketimpangan di masyarakat.

Lagipula, sebagai sebuah Daerah Istimewa, Yogyakarta seharusnya bisa menunjukkan "keistimewaan" mereka. Bukan hanya karena faktor sejarah dan budaya, tapi juga karena mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa kecuali, lewat segenap potensi yang ada.

Selebihnya, tinggal bagaimana itu bisa disadari dan konsisten ditekuni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun