Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat "Kuliner Berminyak" Jadi Sorotan

19 Januari 2023   20:01 Diperbarui: 19 Januari 2023   20:06 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Streetfood di Singapura (Kompas.com)

Dalam beberapa hari terakhir, pembahasan soal kuliner "berminyak jelantah" (karena dimasak dan disajikan dengan minyak jelantah alias minyak goreng bekas) cukup viral di media sosial. 

Berawal dari satu menu kuliner di sebuah restoran, pembahasannya lalu bergulir bak bola salju. 

Banyak yang menyoroti kandungan kolesterol tinggi di dalamnya. Ada juga yang mendesak BPOM (maupun lembaga terkait) segera menertibkan.

Di sini, saya lebih suka menyebutnya "kuliner berminyak" daripada "nasi minyak, karena "Nasi Minyak" ternyata adalah sebutan untuk kuliner khas Jambi, Palembang, dan beberapa daerah di Malaysia.

Sesuai namanya, kuliner bercorak Timur Tengah ini menggunakan bumbu khas minyak samin (minyak mentega), rempah-rempah, kuah kari, atau daging sapi.

Kurang lebihnya mirip nasi uduk atau nasi lemak pada beberapa daerah di Indonesia, Singapura dan Malaysia, atau nasi kebuli di Timur Tengah.

Nasi Minyak ala Palembang (Kompas.com)
Nasi Minyak ala Palembang (Kompas.com)
Di satu sisi, ini layak diapresiasi, karena mulai ada kesadaran masyarakat, mengenai bahaya jangka panjang konsumsi minyak jelantah. Begitu juga dengan bahaya konsumsi makanan berlebih pada malam hari.

Masalahnya, ketika kesadaran semacam ini datang bersama pandangan yang cenderung "menghakimi", tentu akan cenderung menjadi sesuatu yang kurang sehat. Disadari atau tidak, masakan yang digoreng sudah lama membudaya di Indonesia.

Kebanyakan orang sudah mengenal, bahkan ada juga yang mendapat rezeki dari sana. Saking membudayanya, banyak yang pusing saat harga minyak goreng naik.

Ketika sorotan tentang "kuliner berminyak jelantah" muncul, sebenarnya ada satu keheranan dalam pikiran saya. Sebenarnya,  ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan jadi satu ciri "streetfood" khas Indonesia. Ke mana saja selama ini?

Ini baru minyak jelantah, belum elemen "umum" lain seperti santan atau gula, yang juga ada di banyak menu kuliner khas Indonesia.

Di luar masalah potensi kolesterol, ada juga bahaya-bahaya jangka panjang lain buat kesehatan. unumnya dalam bentuk penyakit dalam. Dengan demikian,  seharusnya ada kesadaran untuk tidak  mengkonsumsi "kuliner berminyak jelantah" atau sebangsanya secara berlebihan.

Tapi, kesadaran ini jangan sampai menjadi obsesif, karena ini bisa memicu Obsessive Compulsive Disorder (OCD) yang antara lain berupa "Orthorexia Nervosa", satu jenis gangguan pola makan dimana  penderitanya sangat terobsesi pada makanan sehat.

Kalau sudah kena OCD, niat untuk hidup sehat justru bisa jadi bumerang, karena pola makan dan jenis asupan nutrisinya dibatasi secara ekstrem. Sudah mental kurang sehat karena terobsesi, tubuh bisa sakit juga karena kurang gizi.

Jangan sampai juga, kesadaran ini menjadi alasan untuk "mematikan" sumber penghidupan banyak pelaku usaha kuliner.

Mereka hanya melanjutkan satu budaya dan memanfaatkan hukum "permintaan dan penawaran" secara legal. Dari mereka juga, sektor UMKM yang jadi pilar ekonomi nasional bisa tetap eksis.

Jadi, daripada hanya "menghakimi" para pelaku usaha, dan meminta BPOM melarang, sudah seharusnya ada edukasi dan standarisasi terkait pengolahan dan penyajian makanan, seperti banyak kita lihat di Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan atau Jepang.

Streetfood di Singapura (Kompas.com)
Streetfood di Singapura (Kompas.com)
Negara-negara tersebut juga punya banyak kuliner "streetfood" seperti Indonesia, tapi disajikan bukan dengan minyak yang sepekat oli mobil. Seharusnya, kalau ada edukasi dan aturan standar yang jelas, "streetfood" khas Indonesia juga bisa jadi satu potensi wisata.

Pada akhirnya, makanan sendiri pada dasarnya ada untuk dimakan dan dinikmati sampai habis. Soal sehat atau tidak, kembali lagi ke kesadaran masing-masing. Selama tidak berlebihan, seharusnya tidak ada masalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun