Dalam beberapa hari terakhir, pembahasan soal kuliner "berminyak jelantah" (karena dimasak dan disajikan dengan minyak jelantah alias minyak goreng bekas) cukup viral di media sosial.Â
Berawal dari satu menu kuliner di sebuah restoran, pembahasannya lalu bergulir bak bola salju.Â
Banyak yang menyoroti kandungan kolesterol tinggi di dalamnya. Ada juga yang mendesak BPOM (maupun lembaga terkait) segera menertibkan.
Di sini, saya lebih suka menyebutnya "kuliner berminyak" daripada "nasi minyak, karena "Nasi Minyak" ternyata adalah sebutan untuk kuliner khas Jambi, Palembang, dan beberapa daerah di Malaysia.
Sesuai namanya, kuliner bercorak Timur Tengah ini menggunakan bumbu khas minyak samin (minyak mentega), rempah-rempah, kuah kari, atau daging sapi.
Kurang lebihnya mirip nasi uduk atau nasi lemak pada beberapa daerah di Indonesia, Singapura dan Malaysia, atau nasi kebuli di Timur Tengah.
Di satu sisi, ini layak diapresiasi, karena mulai ada kesadaran masyarakat, mengenai bahaya jangka panjang konsumsi minyak jelantah. Begitu juga dengan bahaya konsumsi makanan berlebih pada malam hari.
Masalahnya, ketika kesadaran semacam ini datang bersama pandangan yang cenderung "menghakimi", tentu akan cenderung menjadi sesuatu yang kurang sehat. Disadari atau tidak, masakan yang digoreng sudah lama membudaya di Indonesia.
Kebanyakan orang sudah mengenal, bahkan ada juga yang mendapat rezeki dari sana. Saking membudayanya, banyak yang pusing saat harga minyak goreng naik.
Ketika sorotan tentang "kuliner berminyak jelantah" muncul, sebenarnya ada satu keheranan dalam pikiran saya. Sebenarnya, ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan jadi satu ciri "streetfood" khas Indonesia. Ke mana saja selama ini?