Menyusul keputusan PSSI menghentikan kompetisi Liga 2 dan 3, ada banyak kritik pada induk sepak bola nasional itu, karena tidak mampu mengelola kompetisi dengan baik. Mereka juga terkesan hanya memprioritaskan Liga 1, dan berdalih kehabisan dana untuk memutar kompetisi.
Dengan pengalaman selama beberapa tahun, seharusnya fenomena semacam ini bisa ditangani. Tapi, karena inkompetensi yang ada sudah lumayan parah, ternyata penanganan masalah ala PSSI (dalam hal ini PT LIB selaku operator kompetisi) justru mendatangkan rentetan masalah baru.
Berawal dari Tragedi Kanjuruhan yang tidak ditangani secara tuntas, puluhan klub kasta kedua dan ketiga malah kena imbas. Padahal, masalahnya ada pada Arema FC, klub kontestan Liga 1.
Benar-benar kacau.
Dari sini, kita bisa menangkap, kinerja PT LIB sebagai operator tunggal kompetisi sudah tidak efektif. Akibatnya, kompetisi kasta bawah tidak diperhatikan sebaik kasta tertinggi.
Kalau kompetisi liga (yang katanya) profesional saja masih semrawut, jangan heran kalau kompetisi amatir atau usia muda lebih berantakan.
Berangkat dari masalah ini, rasanya sudah waktunya Liga 1, 2 dan 3 dikelola oleh operator kompetisi berbeda. Begitu juga dengan kompetisi amatir. sepak bola wanita atau usia muda.
Kebetulan, menyusul keputusan menyetop Liga 2 dan 3, PSSI sudah mendesak PT LIB untuk membentuk operator baru, supaya bisa fokus mengelola Liga 2 dan 3.
Hanya saja kompetisi amatir. sepak bola wanita atau usia muda juga perlu diperhatikan, karena selama ini serba alakadarnya, bahkan sempat mati suri.
Memang, solusi ini terlihat seperti sebuah pemborosan, tapi sudah jamak dilakukan di banyak negara, termasuk yang kompetisinya sudah kelas dunia.