Inilah atribut yang dalam banyak kesempatan dibutuhkan. Bagi pekerja, kepintaran adalah "koentji". Semakin pintar, semakin bisa bertahan, termasuk pintar dalam hal cuap-cuap menjilat atasan.
Tapi, kepintaran kadang jadi hal paling menjijikkan untuk dihadapi, karena ada banyak label yang dihadirkannya: payah, Â medioker, ahli, aktif, pasif, dan sebagainya.
Entah dapat ide dari mana, kepintaran kadang juga membuat pemiliknya bisa begitu manipulatif. Ada fakta palsu muncul, tapi saat dibantah dengan fakta, langsung beralih ke hal lain.
Ada dalil demi dalil yang selalu bisa jadi pembenaran. Inilah lawan yang paling tak ingin dilawan.
Menjadi medioker yang diam sebenarnya cukup nyaman, tapi, ketika sebuah kepandaian menjadi hal toksik, tidak ada yang bisa diharapkan. Menjadi biasa saja disorot, apalagi menjadi luar biasa, entah dalam hal positif maupun negatif.
Aku ingat, orang-orang pandai ini pernah bilang,
"Kamu hanya seorang medioker pemalas."
"Kamu tidak bodoh, tapi tidak pintar."
Kadang, ini bisa membuat orang jengkel, Â tapi buatku, ini sebuah pengakuan. Aku tak pernah menyebut diri jelek atau bagus, dan begitulah, medioker jadi posisiku dalam banyak hal.
Di pekerjaan, keseharian dan kehidupan,
aku bukan pemeran penting. Bagus, tapi tidak ekselen. Seperti kata orang-orang pandai itu.
Ada atau tidak adanya aku, rasanya tidak ada pengaruh. Aku hanya sebatang lilin yang menyala terang di kegelapan, tapi tak ada artinya saat terang.
Aku hanya pelengkap yang tidak pernah mau bermimpi terlalu tinggi, karena diatas langit masih ada langit, dan diatasnya lagi ada satelit.
Mimpi memang bisa membuat hidup lebih berwarna, tapi tidak untuk seorang medioker. Lebih baik tidak ada mimpi tapi damai, daripada menanggung kenyataan pahit.
Medioker ada bukan untuk diingat seperti yang buruk atau ekselen. Andai ada yang mengingat, itu bonus.
Kami hanya sebuah titik tengah. Tempat dimana orang-orang pintar kadang berstandar ganda. Jika menguntungkan, mereka akan diam, sementara saat kami sedang sulit, mereka tampak dingin, seperti puncak musim hujan.
Kadang, kami jadi permen karet buat mereka yang dianggap buruk. Sekali berarti sudah itu mati. Begitu kata Chairil Anwar.
Mengenaskan, setidaknya buat mereka yang merasa diri ekselen. Perbedaan antara baik dan naif kadang terlalu samar. Seperti mati sebagai pahlawan atau mati konyol di medan perang paling mematikan.
Tapi, menjadi medioker kadang menjadi satu kebahagiaan. Tak perlu takut kehilangan, karena tak punya apapun yang pantas dibanggakan. Tak perlu kecewa, Â karena memang tak bisa berharap banyak.
Ada kalanya kami merusak tatanan dan terlihat seperti pemberontak dimata mereka yang pintar, tapi percayalah, kami hanya berusaha menjaga keseimbangan, karena untuk itulah kami ada.
Kami mungkin tak akan diingat seperti si pintar atau si bodoh, tapi kami akan selalu berusaha sampai akhir, supaya saat semua benar-benar berakhir, tak ada penyesalan atau rasa penasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H