Setelah Piala Dunia 2022 selesai dengan kesuksesan Lionel Messi dkk meraih trofi ketiga, pecinta sepak bola, Â khususnya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kembali mendapat suguhan pesta sepak bola dalam wujud Piala AFF 2022.
Seperti biasa, setiap kali Tim Garuda main di turnamen ini, ada banyak prediksi rasa ekspektasi muncul. Seperti biasa juga, prediksi rasa ekspektasi itu terbalut dalam optimisme soal asa juara.
Tapi, kalau boleh jujur, sebenarnya ada kekhawatiran soal Piala AFF kali ini, khususnya berkaitan dengan situasi di sekeliling Timnas Indonesia.
Seperti diketahui, kondisi sepak bola nasional masih dalam tahap "pemulihan" pasca vakum sekitar dua bulan imbas Tragedi Kanjuruhan. Ada pertandingan, tapi tanpa penonton, dengan jadwal lumayan padat.
Memang, para pemain yang terlibat sudah mulai bertanding sejak dua minggu terakhir, tapi kondisinya masih belum optimal. Program latihan klub yang kacau karena libur kompetisi selama dua bulan jadi salah satu penyebabnya.
Ditambah lagi, meski punya program pelatnas, anak asuh Shin Tae-yong tidak melakukan satupun laga ujicoba internasional, sejak beruji coba dengan Curacao bulan September 2022 silam.
Dengan situasi seperti ini, agak sulit juga untuk menilai, apakah progres yang sejauh ini sudah dicapai Witan Sulaeman dkk ada kemajuan atau tidak.
Itu baru soal tim dan pemain yang bisa bergabung. Belum termasuk Elkan Baggott (Gillingham) yang memutuskan tetap di klub dan Sandy Walsh (KV Mechelen) yang tak ikut karena jadwal padat klub dan posisi Piala AFF yang tidak termasuk dalam kalender FIFA.
Dengan kondisi seperti itu, praktis pemain yang berada dalam kondisi optimal adalah Witan Sulaeman (AS Trencin), Egy Maulana Vikri (eks Zlate Moravce) yang bermain di Slovakia, Jordi Amat (JDT) yang bermain di liga Malaysia dan Liga Champions Asia, Asnawi Mangkualam (Ansan Greeners, Korea Selatan) dan Pratama Arhan (Tokyo Verdy, Jepang).
Para pemain "abroad" ini berada dalam kondisi ideal, karena kompetisi tempat mereka bermain berjalan normal. Sekalipun menit bermainnya sangat terbatas, seperti pada kasus Egy dan Pratama Arhan, program latihan rutin klub di luar negeri lebih konsisten dan tertata.
Dari segi suporter, animo suporter biasanya jadi salah satu senjata andalan Timnas Indonesia. Tapi, dengan masih adanya trauma di sebagian suporter setelah Tragedi Kanjuruhan, animo itu mungkin akan berbeda.
Apalagi, dalam hal jumlah penonton, kapasitas Stadion Gelora Bung Karno yang akan jadi tempat bertanding cukup dibatasi, dengan pertimbangan keamanan.
Seperti diketahui, untuk pertandingan melawan Kamboja kuota maksimal penonton adalah 30 ribu penonton, dan 50 ribu penonton untuk pertandingan melawan Thailand.
Soal hasil dan performa tim, dengan kondisi serba tidak ideal di sekelilingnya, saya tidak akan berharap muluk. Lolos ke semifinal sudah bagus, selebihnya bonus, karena tim lain juga tak bisa dianggap remeh.
Sebagai contoh, Thailand punya salah satu liga terbaik di Asia, Filipina punya sejumlah pemain naturalisasi, dan Kamboja punya tim yang sedang berkembang, hasil kerjasama dengan JFA (PSSI-nya Jepang).
Soal potensi, Tim Merah Putih pasti masih punya sesuatu yang bisa mengejutkan. Tapi, seandainya mampu melangkah jauh seperti edisi sebelumnya, masih ada kekhawatiran lain soal sorotan berlebih media.
Dalam banyak kesempatan, sorotan seperti ini, ditambah euforia publik setiap kali Timnas menang sering mengganggu dan berdampak negatif. Enam kali kalah di final seharusnya sudah lebih dari cukup untuk jadi pengalaman.
Jadi, saya lebih memilih untuk menikmati aksi Timnas Indonesia dari laga ke laga, tanpa beban apapun. Dengan situasi ruwet di sekitarnya, akan tidak adil kalau ada beban terlalu berat untuk mereka.
Selebihnya, mari kita nikmati saja. Juara ya syukur, tidak ya sudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H