Judul di atas, adalah pendapat saya tentang kiprah Timnas Maroko di Piala Dunia 2022. Seperti diketahui, tim ini sukses menghasilkan salah satu kejutan terbesar, kalau bukan yang terbesar, sepanjang turnamen.
Sejak awal, Tim Singa Atlas sebenarnya bukan tim yang diperhitungkan, bahkan untuk lolos fase grup. Maklum, mereka satu grup dengan Kroasia dan Belgia, tim semifinalis dan finalis Piala Dunia 2018.
Meski kembali diperkuat Hakim Ziyech dan Mazraoui, kondisi tim ini masih kurang meyakinkan di area teknik. Penyebabnya, FRMF (PSSI-nya Maroko) mengganti Vahid Halilhodzic (Bosnia) dengan Walid Regragui hanya 3 bulan sebelum turnamen dimulai.
Dengan situasi seperti itu, wajar kalau keraguan muncul. Tapi, ketika turnamen dimulai, semua sukses dijungkirbalikkan. Belgia yang bertabur bintang rontok 0-2, Kroasia ditahan imbang tanpa gol, dan tim yang awalnya diragukan sukses menjadi juara grup.
Di fase gugur, giliran Spanyol dan Portugal yang didepak. Spanyol dan dominasi tiki-taka mereka mati kutu, bahkan kalah 3-0 di babak adu penalti. Portugal dan Cristiano Ronaldo (yang juga bermain dominan) dibuat menangis oleh sundulan jitu Youssef En-Nesyri.
Sampai di sini, semua terlihat sempurna. Maroko mampu menjadi tim Afrika pertama yang lolos ke babak semifinal dengan pertahanan berlapis dan serangan balik cepat mematikan.
Respek pada Yassine Bounou dkk juga semakin tinggi, karena seluruh anggota tim juga konsisten memperlihatkan tingkah positif, seperti mengapresiasi dukungan ibu mereka dan bersujud syukur.
Sayangnya, sikap baik ini justru turut andil menghasilkan bias perspektif, khususnya berkaitan dengan keyakinan tertentu, yang menyalahi nilai universal sepak bola. Selain itu, sorotan yang muncul juga terlalu berlebihan.
Padahal, semua insan yang hadir atau minimal ikut menikmati gelaran Piala Dunia 2022 berasal dari beragam bangsa, keyakinan dan kepelbagaian lainnya.
Mengekspresikan keyakinan tertentu memang tidak dilarang. Masalahnya, kalau itu disorot berlebihan, apalagi sampai menghasilkan bias perspektif, jelas kurang elok.
Timnas Jerman dan kegaduhan soal isu "pelangi" yang mereka hadirkan di fase grup adalah contoh paling sempurna. Hasilnya, jangankan melangkah jauh, lolos fase grup saja tak mampu.
Der Panzer terlalu sibuk mengurus kegaduhan yang mereka hadirkan sendiri ketimbang tampil sebaik mungkin di lapangan.
Ini jelas toksik, dan bukan untuk diulang dalam bentuk apapun. Kalau dampaknya terbukti buruk, Â jangan ditiru. Ini bukan perkara boleh atau tidak, ini soal kepantasan.
Pada kasus Timnas Maroko, sorotan dan bias perspektif berlebihan yang ada tampak mencapai klimaks, tepat setelah mengalahkan Portugal 1-0. Pada titik ini, Achraf Hakimi dkk dibuat seperti sudah mencapai puncak dunia.
Disadari atau tidak, pada titik ini fokus Timnas Maroko seperti sudah tidak seperti sebelumnya. Tak heran, ketika lawan menemukan kontra strategi jitu, mereka tampak kebingungan dan buntu saat harus  dipaksa bermain lebih menyerang.
Situasinya mirip seperti euforia saat Arab Saudi mengalahkan Argentina 2-1 di fase grup. Bedanya, level Maroko jauh lebih tinggi, karena mereka mendapatkan sorotan itu saat lolos ke babak semifinal.
Arab Saudi sendiri akhirnya rontok di fase grup, setelah ditekuk Polandia 2-0 dan dikalahkan Meksiko 2-1.
Tapi, entah kebetulan atau bukan, hasil dan skor yang didapat kedua tim setelah disorot itu sama persis. Di semifinal, gol cepat Theo Hernandez dan gol menit akhir Kolo Muani meruntuhkan mimpi Maroko ke final.
Setelah dibekuk Prancis 2-0, giliran Kroasia mengalahkan mereka 2-1 di perebutan tempat ketiga. Gol Josko Gvardiol dan Mislav Orsic di awal dan akhir babak pertama membuat gol Achraf Dari hanya jadi hadiah hiburan.
Prancis dan Kroasia mampu merusak sistem permainan sang jagoan Afrika Utara  dengan gol-gol di menit kritis, dan membuat tim yang biasanya jago dalam serangan balik jadi kehilangan efektivitas.
Bisa dibilang, The Atlas Lion sudah terlihat "habis" di babak semifinal. Andai fokus mereka masih sebagus saat mengalahkan Spanyol dan Portugal, mungkin ceritanya akan berbeda.
Semoga saja, dua kisah antiklimaks ini memang hanya kebetulan mirip.
Di satu sisi, antiklimaks yang dialami Maroko sedikit disayangkan. Tapi inilah satu efek negatif paling merusak, dari sorotan berlebihan, khususnya di era media sosial.
Terbukti, tim yang punya potensi membuat gebrakan terbesar sepanjang sejarah turnamen, justru mencapai titik puncak terlalu cepat.
Memang, sebagai sebuah olahraga, sudah seharusnya sepak bola hanya fokus pada sepak bola itu sendiri.
Sebagai induk sepak bola dunia, FIFA sendiri sebenarnya bukan organisasi yang benar-benar bersih, tapi bukan berarti media dan pecinta sepak bola boleh ikut jadi serupa. Cukup mereka saja yang bermasalah, lainnya jangan ikut-ikutan bermasalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H