Judul di atas adalah satu pertanyaan yang muncul di pikiran saya, dan mungkin sebagian publik sepak bola nasional, setelah kontrak Egy Maulana Vikri diputus Zlate Moravce, Kamis (15/12) lalu.
Meski masih punya sisa kontrak enam bulan, kedua belah pihak sepakat mengakhiri kerja sama lebih awal. Salah satu penyebabnya, karena menit bermain dan kontribusi yang terbatas.
Seperti diketahui, selama membela Zlate Moravce, Egy hanya bermain 9 kali, dengan sebagian tampil dari bangku cadangan, dan membuat satu assist.
Catatan ini jelas sangat jauh dari saat membela FK Senica tahun lalu, sebelum akhirnya hengkang karena klub itu dinyatakan bangkrut. Dimana, 2 gol dan 4 assist berhasil ditorehkannya dari total 26 penampilan.
Di FK Senica, ia juga menjadi duet Witan Sulaeman, yang kini membela AS Trencin, klub yang juga berkompetisi di kasta tertinggi Liga Slovakia.
Perbedaan ini terlihat kontras, meski kompetisinya sama-sama di kasta tertinggi Liga Slovakia. Sebelum mendarat di Slovakia, Lechia Gdansk (Polandia) juga sempat dibelanya selama 3 tahun, dengan menit bermain yang juga terbatas di tim utama.
Dengan kesempatan bermain yang terbatas, kontribusinya pun terbatas. Kalaupun ada yang hal istimewa yang langsung kelihatan, itu hanya kemampuan menarik banyak followers di media sosial.
Terbukti, setiap kali pemain jebolan SKO Ragunan ini bergabung dengan klub baru, jumlah followers klub naik berlipat ganda. Begitu hengkang, langsung unfollow massal.
Praktis, satu-satunya manfaat karier "abroad" Egy yang paling umum adalah, ia bisa mendapat program latihan rutin, dan pengalaman yang jelas jauh lebih baik dari liga Indonesia. Kelebihan inilah, yang membuatnya masih rutin dipanggil Timnas Indonesia.
Tapi, situasi yang dialami pemain kidal ini selama bermain di Polandia dan Slovakia, mau tak mau membawa kita ke satu pertanyaan.
Apakah pemain asal Sumatera Utara ini memang kurang cocok bermain di Eropa Timur, khususnya di kasta tertinggi?
Kalau iya, berarti opsi bermain di klub kasta kedua (atau di bawahnya) bisa dijajaki. Entah ke Kroasia, Serbia, Slovenia, atau Belarus sekalipun, kemungkinan masih di Eropa Timur, tempat di mana Dusan Bogdanovic punya jejaring cukup kuat. Agen asal Serbia ini adalah sosok kunci di balik kiprah Egy di Eropa Timur.
Kalau ternyata masih kurang cocok, opsi pindah ke klub kasta kedua liga Jepang atau Korea Selatan layak dipertimbangkan. Kebetulan ada Pratama Arhan dan Asnawi Mangkualam yang sudah lebih dulu beredar di sana.
Meski Pratama Arhan menjalani tahun cukup sulit di Tokyo Verdy, rekam jejak Asnawi di Ansan Greeners bisa jadi satu harapan buat Egy. Catatan bermain di Eropa sejak usia 18 tahun juga bisa jadi pertimbangan tersendiri.
Harapan itu ada, tapi jika tidak berjodoh, bermain di luar Indonesia (setidaknya sampai liga Indonesia musim ini tuntas) adalah satu opsi ideal.
Penyebabnya, situasi di liga Indonesia masih belum ideal setelah restart pasca Tragedi Kanjuruhan. Penjadwalan belum rapi dan sudah pasti terdapat masalah finansial, akibat suporter dilarang menonton di stadion, ditambah konsep "bubble" yang diterapkan dalam kompetisi.
Destinasi lain yang cukup menarik adalah liga Malaysia dan Thailand. Secara kualitas, kompetisi domestik di kedua negara cukup baik dan menjadi salah satu yang terbaik di Asia.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa pemain Indonesia yang bermain di sana, seperti Rudolof Yanto Basna dan Saddil Ramdani. Saddil bahkan dilirik klub kasta kedua Liga Austria, menyusul penampilan oke di negeri jiran.
Dengan usianya yang masih 22 tahun, Egy seharusnya masih punya setidaknya 1-2 tahun lagi untuk berpetualang di kompetisi luar negeri, dan bisa sedikit lebih lama jika menemukan klub yang cocok.
Menariknya, Si Kelok 9 punya satu kesempatan menarik, karena akan tampil di Piala AFF. Turnamen tingkat Asia Tenggara yang akan segera mulai dalam waktu dekat ini bisa jadi etalase buatnya, untuk menarik minat klub luar negeri.
Jika mampu tampil oke, rasanya eks pemain Timnas U-19 ini masih belum akan pulang dalam waktu dekat. Hanya saja, berangkat dari pengalaman selama ini, sebaiknya klub yang dipilih adalah klub yang membutuhkannya secara teknis, bukan hanya bisnis, supaya bisa saling menguntungkan.
Di sisi lain, kiprah seorang Egy Maulana Vikri di Eropa seharusnya bisa jadi pelajaran buat publik sepak bola nasional, untuk tidak bangga berlebihan dengan kiprah pemain Indonesia di luar negeri.
Itu sudah beberapa kali dimanfaatkan klub si pemain untuk mendongkrak popularitas di media sosial, sementara kiprah si pemain tidak terlalu menggembirakan, bahkan berakhir kurang mengenakkan.
Maka, sudah seharusnya kita mengurangi sikap itu, karena semakin sering hal-hal seperti itu dibanggakan, berarti semakin sedikit hal yang bisa dibanggakan dari sepak bola nasional.
Dengan kata lain, masih ada banyak hal yang harus dibenahi, sebelum sepak bola nasional layak untuk dibanggakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H