Setelah sempat distop selama kurang lebih dua bulan, imbas Tragedi Kanjuruhan, sepak bola nasional, khususnya kompetisi Liga 1, kembali bergulir sejak Senin (5/12) lalu, di tengah hiruk pikuk Piala Dunia 2022.
Tidak seperti sebelumnya, kompetisi kali ini menerapkan sistem terpusat alias "bubble", dan dijalankan tanpa penonton, seperti pada masa pandemi.
Tentu saja, situasi ini kurang ideal, tapi paling tidak sejalan dengan arahan pemerintah, supaya sepak bola nasional tidak terbengkalai. Kebetulan, dalam waktu dekat Timnas Indonesia akan bertanding di Piala AFF.
Di sisi lain, kebijakan tanpa penonton ini juga sejalan dengan rekomendasi pihak kepolisian, selama PSSI dan pihak-pihak terkait (termasuk klub) belum punya aturan baku soal keamanan dan keselamatan penonton di stadion.
Dengan kata lain, lanjutan Liga 1 yang kita lihat sekarang adalah hasil kompromi berbagai pihak, demi tetap berjalannya perkembangan sepak bola nasional dan Timnas Indonesia.
Masalahnya, kebijakan ini juga perlu diikuti dengan sosialisasi, edukasi, dan penerapan aturan yang tegas soal ketertiban suporter di stadion dan manajemen klub. Tanpa itu, situasinya akan sama saja.
Sebelum ini, jangankan edukasi, sosialisasi saja masih tidak jelas wujudnya. Itu belum termasuk kekurangan lain yang selama ini jadi biang kerok kebobrokan sepak bola nasional.
Jangan lupa, Tragedi Kanjuruhan adalah satu tragedi stadion terburuk di dunia, yang sampai "memaksa" FIFA berkantor selama setahun di Indonesia. Dengan lebih dari 100 nyawa yang melayang, agak keterlaluan kalau liga masih berlanjut seolah tak terjadi apa-apa.
Sebagai seorang penonton, jujur saja saya tidak tega menonton lanjutan  Liga 1. Tidak mungkin saya menonton seperti tidak terjadi apa-apa, karena ratusan korban Tragedi Kanjuruhan itu bukan angka statistik.
Apalagi Tragedi Kanjuruhan ternyata menghasilkan efek sedemikian masif, bahkan sampai ke divisi bawah. Akibat satu tragedi, puluhan sampai ratusan klub kena imbas.
Awalnya, Arema FC memang dihukum bermain di luar Malang tanpa penonton dan denda 250 juta rupiah, tapi "hukuman" bertanding tanpa penonton justru terpaksa harus dirasakan semua tim, saat liga kembali bergulir.
Ditambah lagi, saat kompetisi Liga 1 kembali bergulir, kompetisi Liga 2 dan Liga  3 justru masih belum jelas kelanjutannya. Dengan situasi seperti ini, tiga poin apalagi trofi juara jelas akan terasa hambar.
Tidak ada efek jera dari sanksi PSSI buat manajemen Singo Edan, atas kelalaian mereka. Padahal, 1 nyawa manusia saja harganya tidak ternilai, apalagi ratusan. Kurang adil juga kalau klub kasta bawah jadi "anak tiri" sementara Liga 1 terus dianakemaskan PSSI.
Mungkin, PSSI dan pihak-pihak terkait sedang coba menerapkan semboyan "life must go on.", tapi keengganan dan trauma  (setidaknya sebagian) masyarakat pada sepak bola nasional tidak bisa dibohongi, terutama pada mereka yang jadi korban selamat, atau kehilangan orang terdekat.
Inilah yang seharusnya ikut mereka perhatikan. Jika tidak, kualitas sepak bola nasional bisa jadi semakin mundur. Apa gunanya ada federasi berumur hampir seabad tapi bobrok?
Selama masih belum ada perbaikan, rasanya memang sudah sepantasnya sepak bola nasional berjalan tanpa penonton. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari menonton langsung aksi tim kesayangan di stadion, selama keselamatan masih jadi taruhan.
Seharusnya, sebuah pertandingan sepak bola bukan sebuah ancaman gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, tapi jika ternyata malah menjadi demikian, berarti ada yang salah. Selebihnya, tinggal apakah itu bisa segera disadari dan ditertibkan atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H