Bicara soal kiprah wakil benua Afrika di Piala Dunia, kata "penasaran" atau "nyaris" kadang lekat dengannya. Maklum, Benua Hitam cukup rajin menghadirkan talenta kelas dunia, setidaknya dalam empat dekade terakhir.
Mulai dari Thomas N'Kono dan Roger Milla  (Kamerun) di era 1980-an, Nwankwo Kanu dan Jay-Jay Okocha (Nigeria) di era 1990-an.
Setelah itu ada juga Samuel Eto'o (Kamerun), John Obi Mikel (Nigeria), Didier Drogba dan Toure bersaudara (Pantai Gading), Michael Essien dan Asamoah Gyan (Ghana) plus El Hadji Diouf (Senegal) di era 2000-an.
Tapi, meski kerap punya talenta kelas satu, langkah terjauh wakil Afrika di Piala Dunia masih mentok di babak perempat final.Â
Kamerun (1990) dan Senegal (2002) tumbang di babak perpanjangan waktu, sementara Ghana (2010) lebih nyaris lagi, karena tersingkir di babak adu penalti.
Di era terkini, nama-nama talenta kelas satu dari Afrika kembali muncul di sejumlah negara kontestan Piala Dunia 2022.Â
Seperti diketahui, pada edisi kali ini, benua Afrika mengirim 5 negara kontestan ke Qatar, yakni Senegal, Ghana, Kamerun, Tunisia dan Maroko, lengkap dengan bintang utama masing-masing.
Ada Sadio Mane (Bayern Munich) yang memimpin Senegal juara Piala Afrika 2021 dan meraih Socrates Award Tahun 2022. Maroko punya Achraf Hakimi, bek sayap yang bersinar di PSG.
Tunisia punya Hannibal Mejbri yang jadi pemain potensial di Manchester United. Ghana dimotori Thomas Partey (Arsenal) dan Mohammed Kudus (Ajax) di lini tengah dan depan.Â
Tak ketinggalan, Kamerun datang dengan tim yang antara diperkuat Andre Onana (Inter Milan) Zambo Anguissa (Napoli) dan Erick Choupo-Moting (Bayern Munich).
Memang, tidak ada Nigeria yang selama ini sering mewakili Afrika, begitu juga dengan Aljazair dan Riyad Mahrez atau Mesir dan Mohamed Salah. Tapi, wakil-wakil Afrika yang tampil di Qatar nanti tetap punya potensi menarik, meski rata-rata berada di grup sulit.
Senegal yang masih diasuh Aliou Cisse dan mengandalkan sebagian personel alumnus Piala Dunia 2018 berada satu grup dengan Belanda, Qatar dan Ekuador.
Diatas kertas, perempatfinalis Piala Dunia 2002 ini dijagokan lolos dari grup A bersama Belanda.Â
Kebetulan, selain Mane, Tim Singa Teranga juga diperkuat Kalidou Koulibaly dan Edouard Mendy (Chelsea) di pos lini belakang dan bawah mistar plus gelandang berpengalaman Idrissa Gueye (Everton) di tengah.
Tapi, faktor Qatar sebagai tuan rumah dan potensi kejutan Ekuador tak bisa diremehkan begitu saja. Kebetulan, komposisi grup ini mirip dengan yang dijumpai Senegal di Piala Dunia 2018 lalu: satu tim Eropa (Polandia), satu tim Asia (Jepang), dan satu tim Amerika Selatan (Kolombia).
Ketika itu, Sadio Mane dkk punya poin dan selisih gol sama persis dengan Jepang, tapi gagal lolos karena mengantongi lebih banyak kartu kuning. Kegagalan itu tentu masih menyisakan rasa penasaran yang ingin dibayar lunas di Qatar.
Di grup D, Tunisia seperti "pelanduk diantara gajah", karena harus menghadapi Prancis, Denmark dan Australia. Meski dihantui "kutukan juara bertahan", Prancis tetaplah Prancis yang punya tim bertabur bintang.
Sementara itu, Denmark tentu ingin melanjutkan tren positif, setelah menjadi semifinalis Euro 2020. Last but not least, Australia yang datang sebagai wakil zona Asia juga tak bisa dianggap remeh, karena mampu mengalahkan Peru, kuda hitam Amerika Selatan, di babak play off.
Dengan catatan prestasi selalu mentok di fase grup, tim Elang Khartago jelas kurang diunggulkan, tapi bermain di Timur Tengah bisa jadi satu keuntungan tersendiri, karena lingkungan ini tidak asing buat mereka.
Situasi kurang lebih mirip juga dialami Kamerun (Grup G), Maroko (Grup F) dan Ghana (Grup H). Kamerun harus menghadapi tim unggulan Brasil, plus dua tim solid dari Eropa, yakni Swiss dan Serbia.
Meski sebenarnya punya potensi, The Indomitable Lions punya catatan buruk di Piala Dunia, khususnya sejak menjadi perempatfinalis Piala Dunia 1990.Â
Sejak mencatat prestasi itu, salah satu negara produsen kopi terbesar dunia ini tak pernah lolos dari fase grup, bahkan sempat absen di edisi 2006 dan 2018.
Jika catatan buruk ini masih menghantui anak didik Rigobert Song, sepertinya cerita yang sama akan hadir lagi di Qatar.
Di grup F, peluang lolos Maroko juga cukup berat di atas kertas, karena ada Kroasia dan Belgia, tim finalis dan semifinalis Piala Dunia 2018 yang sama-sama bertabur bintang. Meski begitu, ada satu celah yang bisa dimanfaatkan Tim Singa Atlas untuk membuat kejutan,
Celah itu datang dari grafik inkonsisten Kroasia. Meski menjadi finalis Piala Dunia 2018 dan semifinalis Piala Dunia 1998, selebihnya langkah Vatreni selalu mentok di fase grup (edisi 2002, 2006, dan 2014) dan absen di edisi 2010.
Jika inkonsistensi ini kambuh di Qatar, Maroko bisa membuat kejutan. Jika tidak, rasanya grup ini akan jadi milik Belgia dan Kroasia, kecuali Kanada mampu membuat kejutan besar.
Beralih ke grup H, nuansa nostalgia terasa kental di sini, karena keempat tim pernah saling berhadapan. Sorotan paling intens hadir pada laga Uruguay vs Ghana, yang menghadirkan memori duel perempatfinal Piala Dunia 2010.
Sebuah momen dimana Ghana hampir saja lolos ke semifinal, andai Luis Suarez tidak handsball, dan penalti Asamoah Gyan tidak membentur mistar. Uniknya, Uruguay seperti jadi objek sasaran balas dendam di grup ini.
Seperti diketahui, Â Uruguay pernah mengalahkan Korea Selatan 2-1 dan Ghana (adu penalti) dalam perjalanan menuju semifinal Piala Dunia 2010, plus mendepak Portugal 2-1 di perdelapan final Piala Dunia 2018.
Tim lain yang juga pernah saling berhadapan di grup ini adalah Portugal, Ghana dan Korea Selatan. Portugal mengalahkan Ghana 2-1 di fase grup Piala Dunia 2014, tapi takluk 0-1 dari Korea Selatan di fase grup Piala Dunia 2002.
Di dua edisi itu, langkah Portugal sama-sama mentok di fase grup. Dalam hal konsistensi, Seleccao juga kurang meyakinkan. Meski menjadi semifinalis Piala Dunia 1966 dan 2006, langkah mereka lebih banyak terhenti di fase grup (1986, 2002, 2014) atau perdelapan final (2010, 2018).
Dengan catatan inkonsisten Portugal dan transisi Uruguay (yang belum genap setahun dilatih Diego Alonso) pasca berpisah dengan Oscar Tabarez, Ghana masih punya sedikit kesempatan untuk lolos ke fase gugur. Apalagi, kalau Korea Selatan mampu menjegal Portugal atau Uruguay, seperti yang dialami Jerman di Rusia lalu.
Melihat situasinya, kita boleh menyebut, Senegal, Maroko, dan Ghana punya peluang mewakili Afrika di fase gugur. Dari ketiganya, Senegal punya materi tim yang paling seimbang dan kompak.
Mereka bahkan bisa saja mengulang prestasi menjadi perempatfinalis di tahun 2002 atau melampauinya, jika mereka mampu menampilkan performa maksimal dan dinaungi cukup keberuntungan.
Akan seberapa jauh langkah wakil Afrika di Qatar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H