Datang tak diundang, pergi tanpa pamitan.
Bukan, ini bukan makhluk tak kasat mata. Ini hanya aliran listrik di musim hujan. Makhluk paling seenaknya yang pernah kukenal.
Dia sebenarnya jadi salah satu penggerak di era modern. Kehadirannya membuat malam jadi lebih terang. Berinternet pun jadi menyenangkan, karena listrik yang menyala menjamin sinyal koneksi internet tetap baik.
Masalahnya, ketika musim hujan datang, aliran listrik ini kadang seperti acara layar tancap: gerimis bubar alias misbar. Yang paling menyebalkan adalah, mati listrik ini sering datang tiba-tiba, tanpa peduli penggunanya sedang mandi, makan, atau bekerja.
Kalau itu terjadi di siang hari, mungkin tidak masalah. Sambil menunggu listrik menyala, mungkin bisa mengobrol dengan tetangga.
Bagaimana kalau itu terjadi di malam hari?
Bagi mereka yang tidak takut gelap, ini adalah alasan bagus untuk segera tidur. Setidaknya bisa isi tenaga, jadi kalau listrik hidup lagi, pekerjaan bisa dilanjut.
Kecuali kalau itu masakan di kompor listrik atau oven listrik yang kadang terpaksa harus direlakan. Apalah guna kompor atau oven listrik yang kehilangan daya?
Bagi mereka yang takut gelap, mati listrik adalah waktu bebas berteriak histeris. Bukan karena melihat langsung Oppa atau Eonni Korea yang aduhai, tapi karena benar-benar kaget campur bingung.
Lucunya, situasi ini kadang dimanfaatkan mereka yang usil untuk menakut-nakuti. Meski kadang kurang baik, perpaduan antara tingkah usil dan rasa takut ini bisa sedikit menghibur.
Ini jauh lebih baik daripada membanting ponsel atau laptop, yang sebenarnya tidak bersalah. Mereka tidak bisa berbuat banyak saat dayanya rendah.
Tapi, mati listrik, baik bagi mereka yang penakut atau tidak, adalah sebuah momen frustrasi. Tidak banyak yang bisa dilakukan.
Pakai data seluler? Sinyalnya kadang kembang kempis, seperti sedang makan sambal paling pedas.
Komplain? Percuma. Kadsng, bicara dengan tembok rasanya masih lebih baik dari itu
Memang, PLN kadang memberitahukan info pemadaman bergilir di koran atau portal berita, tapi siapa yang sempat membaca itu zaman sekarang?
Ini sudah eranya medsos. Kalau malas mengirim ke aplikasi WhatsApp secara perorangan atau lewat pesan broadcast, bisa memakai platform seperti Facebook, Twitter atau Instagram.
PLN pasti (setidaknya) punya akun media sosial centang biru. Kalau ada info dan rutin disampaikan, pasti masyarakat akan merespon positif.
Masalahnya, ini nyaris tidak pernah dilakukan. Untuk hal-hal seperti ini saja masih tidak dilakukan. Jadi, jangan kaget kalau hal-hal lain masih semrawut.
Satu-satunya peningkatan yang pasti dan tidak pernah terlambat hanya kenaikan harga listrik. Mati listrik saja masih masuk tagihan rekening. Benar-benar ajaib.
Andai ada alternatif lain, mungkin PLN sudah lama ditinggalkan, tapi karena mereka adalah pemain tunggal yang posisinya dijamin konstitusi, benci tapi rindu menjadi satu-satunya jenis hubungan yang bisa dijalani.
Kurang lebih seperti Tom and Jerry di dunia kartun. Mereka mungkin sering berselisih, tapi situasi akan terasa hambar jika tidak bersama.
Mungkin, realita ini terasa menyebalkan. Tapi beginilah realitanya. Selama masih ada mati listrik tanpa pemberitahuan sampai berjam-jam bahkan lebih, selama itu juga kita diajak menyadari: inilah Indonesia, negara berbunga yang masih berbunga, dengan pelbagai keajaiban di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H