Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

PSSI, FIFA dan Potret Sebuah Kartel Olahraga

20 Oktober 2022   16:30 Diperbarui: 20 Oktober 2022   16:36 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PSSI tolak rekomendasi TGIPF (Goal.com)

Judul di atas adalah pendapat saya, seturut hadirnya keputusan PSSI, yang menolak rekomendasi TGIPF pasca Tragedi Kanjuruhan. Seperti diketahui, TGIPF pimpinan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD telah merekomendasikan beberapa hal, termasuk pengunduran diri petinggi PSSI dan menyelenggarakan KLB PSSI sesegera mungkin.

Tujuannya jelas, yakni untuk mereformasi sepak bola nasional.  Momennya pun tepat,  karena Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu tragedi stadion paling mematikan di dunia.

Momentum ini semakin sempurna, karena FIFA ikut turun tangan. Gianni Infantino, Presiden FIFA, bahkan berkunjung langsung ke Indonesia, dan menjamin Piala Dunia U-20 tetap diadakan di Indonesia. Datang juga delegasi dari Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) yang akan ikut membantu.

Baik FIFA maupun AFC awalnya sama-sama berkoordinasi intens dengan pemerintah. Di saat PSSI. pihak televisi dan PT LIB saling cuci tangan, pemerintah yang  justru sibuk bergerak.

Mulai dari mendatangi korban, memberi santunan, sampai melobi FIFA, pemerintah-lah yang paling banyak mengerjakan. Makanya, sempat ada harapan situasi akan segera lebih baik. Apalagi, setelah FIFA datang ke Indonesia, dan akan membantu proses transformasi sepak bola nasional.

Tapi, disinilah "plot twist" itu berawal. Entah apa yang terjadi di balik layar, FIFA justru terkesan seperti "mengkadali" pemerintah Indonesia. Mirisnya, itu terjadi setelah Presiden FIFA berdiskusi dengan Presiden Jokowi di Istana Negara.

Diawali dengan sajian acara "fun football" antara PSSI dan FIFA yang dianggap blunder, kejengkelan publik sepak bola nasional muncul, dan semakin kuat saat PSSI dengan pongahnya menolak rekomendasi TGIPF bentukan Presiden Jokowi.

Seperti biasa, mereka berpegang pada statuta, sehingga membuat upaya pemerintah langsung terlihat mentah begitu saja. Lebih lanjut, PSSI bahkan mengklaim, FIFA mengajukan permohonan kepada pemerintah Indonesia, untuk membantu dalam pengadaan VAR.

Selama ini, penggunaan VAR di liga Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak dibahas. Tapi, PSSI sering menyebut kekurangan dana untuk merealisasikan.

Maklum, butuh biaya minimal puluhan sampai ratusan miliar rupiah, untuk bisa diterapkan secara menyeluruh di Indonesia. Itu belum termasuk infrastruktur di stadion, dan pelatihan sumber daya manusia.

Entah kebetulan atau bukan, FIFA dan PSSI  seperti satu frekuensi. Mereka sama-sama memanfaatkan posisi sebagai institusi olahraga, yang bebas dari unsur politik, untuk bergerak sesukanya, termasuk mencari cuan di tengah situasi yang tidak seharusnya.

Sebuah cara berpolitik yang tidak mengejutkan, karena baik PSSI maupun FIFA secara institusi terlihat seperti sebuah kartel: penguasa tunggal di satu wilayah dan bidang tertentu, dalam hal ini olahraga sepak bola.

Kebetulan, keduanya juga tidak benar-benar bersih, karena punya rekam jejak pelanggaran hukum cukup panjang, terutama soal pengaturan skor atau suap.

Mereka bebas bergerak tanpa takut dijerat hukum, karena berpegang pada aturan sendiri. Pada kasus PSSI dan FIFA, ini biasa kita temui pada kata kunci "statuta" dan "football family" yang mengharamkan intervensi pihak luar, termasuk pemerintah.

Dari sisi bisnis, kesan ini misalnya terlihat jelas, dengan klaim PSSI soal permohonan pengadaan VAR. Seperti diketahui, VAR adalah "dagangan" FIFA, dengan induk sepak bola dunia itu sebagai penjual produk berlisensi resmi satu-satunya di dunia.

Padahal, maksud pemerintah mendatangkan FIFA lebih dari sebatas pengadaan VAR, karena ada aspek keselamatan dan keamanan di stadion dan tata kelola sepak bola nasional yang ingin coba diperbaiki.

Seperti diketahui, keduanya jadi penyakit kronis sejak lama, dan ikut andil dalam Tragedi Kanjuruhan. Dengan pendekatan yang dilakukan PSSI dan FIFA ini, ada kesan kalau mereka (masih) menganggap enteng masalah yang ada, dan mengecilkan peran pemerintah. PSSI bahkan sudah berencana melanjutkan Liga Indonesia pada bulan November mendatang. 

Dengan pendekatan seperti itu, jangan kaget kalau mereka seperti tak punya urat malu dan melupakan moralitas.

Tapi, meskipun strategi ala "mafia kartel" PSSI dan FIFA sepertinya tak punya celah, mereka tak bisa lepas dari jerat hukum,  jika melakukan pelanggaran hukum.

Pada masa lalu, FIFA dan UEFA saja bahkan sempat dipaksa melakukan reformasi, setelah petingginya diciduk aparat akibat korupsi dan suap dalam jumlah besar.

Situasi ini bisa saja terjadi di PSSI, jika ternyata ditemukan ada pelanggaran hukum yang dilakukan petingginya, dan pihak berwenang tidak masuk angin dalam  menindaknya.

Kebetulan, sehubungan dengan Tragedi Kanjuruhan, Iwan Bule selaku Ketum PSSI dan Iwan Budianto (Waketum PSSI) turut dipanggil penyidik Polda Jatim pada Kamis (20/10).

Intervensi pemerintah juga bisa dimungkinkan lewat kepolisian, khususnya dalam hal perizinan. Selama syarat dan aspek keamanan tidak terpenuhi dengan baik, tak ada izin dari kepolisian.

Otomatis, pertandingan akan dibatalkan karena tak punya izin kepolisian.

Tragedi Kanjuruhan memakan korban jiwa maupun luka sampai ratusan orang. Dengan jumlah sebanyak itu, akan sangat keterlaluan jika korban yang jatuh hanya dianggap sebagai angka statistik, dan semua bisa tetap berlanjut seperti tidak terjadi apa-apa.

Andai setelah ini sepak bola nasional masih tetap tak ada perbaikan, mungkin sudah saatnya ia hanya layak dinikmati di layar kaca, bukan untuk ditonton langsung di stadion.

Selama PSSI tak mau berbenah, selama itu juga sepak bola nasional sulit diharapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun