Di era kekinian, kampanye soal aspek lingkungan hidup menjadi satu hal yang umum ditemui. Bentuknya pun semakin lama beragam, walaupun kata kuncinya kurang lebih sama: ramah lingkungan.
Berkat asupan informasi melimpah di dunia digital, banyak hal yang bisa dilakukan. Ada yang mengkampanyekan penggunaan produk nonplastik, penggunaan energi terbarukan, dan lain-lain.
Semuanya punya tujuan positif, demi kelestarian lingkungan. Sayangnya, gaya penyampaian pesan yang digunakan kadang kurang membumi.
Ada yang terlalu fokus menggunakan istilah "keriting", sehingga pesan yang disampaikan kurang bisa diterima dengan baik oleh semua kalangan. Kalaupun ada kampanye masif, umurnya tidak panjang, karena tidak terbangun jadi satu kebiasaan.
Tidak ada juga relevansi yang cukup baik, dengan apa yang sehari-hari ditemui audiens. Padahal, semakin kuat relevansinya, semakin "mengena" dan efektif juga pesan yang akan disampaikan.
Ibarat pohon, ia hanya disiram dan diberi pupuk saat ditanam pertama kali, lalu dibiarkan saja tapi, dibiarkan begitu saja. Pohon ini memang tetap tumbuh, tapi layu sebelum berkembang, karena akarnya tidak cukup kuat.
Masalah lain, yang membuat kampanye lingkungan hidup terasa kurang membumi adalah gaya narasi yang cenderung negatif. Ada yang bernada marah, menuding pihak tertentu, atau protes keras seperti seorang aktivis, lengkap dengan iringan musik bernada seram.
Rasanya tentu aneh. Kalau tujuannya memang untuk mengedukasi dan membangun kesadaran, cara-cara seperti ini justru kurang mendidik, kalau tidak boleh dibilang intimidatif.
Kampanye memang sebuah bentuk propaganda, tapi ia jelas bukan film horor atau ajang uji nyali. Kalau memang ingin mengkritik korporasi besar, caranya harus lebih cerdas, kecuali sudah nekat.
Sebagus apapun maksudnya, percuma kalau gaya komunikasinya kurang baik, dan tidak bisa diterima semua audiens. Ini sudah terlalu sering terjadi di masa lalu, dan akan sangat bodoh kalau terus diulang.
Lalu, apa yang sebaiknya perlu dilakukan?
Video di atas mungkin bisa jadi alternatif menarik dalam kampanye lingkungan hidup. Ada tren kekinian dalam bentuk kebiasaan "healing" ke tempat wisata alam, yang dipadukan dengan kearifan lokal dalam bentuk bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
Di luar permainan kata "healing" dan "hilang", plus pergantian situasi latar cukup kontras, ada satu fenomena dalam wujud budaya negatif yang ikut dipotret, yakni perilaku negatif oknum wisatawan di Indonesia.
Seperti diketahui, negeri ini punya banyak potensi wisata alam yang menarik dan eksotis. Secara nilai ekonomi, potensinya sangat besar.
Jika bisa digarap dengan baik dan viral, cuan sudah pasti datang. Semakin viral, semakin bagus.
Sayangnya, karena perilaku oknum wisatawan yang kurang tertib, keindahan itu sering rusak dengan cepat.
Ada kebun bunga viral yang rusak karena terinjak-injak. Ada pantai eksotis yang dipenuhi tumpukan sampah, dan masih banyak lagi.
Apa boleh buat, semua keindahan dan eksotika yang sudah ada jadi rusak. Jika dibiarkan saja, lokasi "healing" pun lama-lama bisa hilang.
Kalau sudah hilang, tak akan ada lagi tempat "healing" untuk dikunjungi. Tak ada lagi manfaat ekonomi yang bisa diandalkan, khususnya oleh masyarakat setempat. Jika kerusakan lingkungannya sudah parah, masyarakat setempat akan tercerabut dari akarnya, akibat dipaksa meninggalkan daerah asalnya.
Miris kan?
Dari sini saja, kita bisa melihat, seberapa tidak efektifnya kampanye lingkungan hidup yang selama ini kita temui. Mereka banyak membahas hal-hal besar, tapi kurang membumi.
Atas nama "ramah lingkungan", harga produk-produk alternatif yang mereka jual juga kurang membumi, karena jauh lebih mahal dari produk sejenis pada umumnya.
Berhubung harganya berada di luar jangkauan, tidak mengejutkan kalau akhirnya sepi peminat.
Dengan kecenderungan masyarakat yang semakin selektif dalam berbelanja, harga menjadi urusan sensitif. Jika ini saja tidak dipahami, sampai kapanpun tak akan efektif.
Maka, penting untuk membumikan gagasan dan membudayakan itu sejak tingkat terkecil di masyarakat, supaya kesadaran yang ada bisa tumbuh dengan akar yang kuat. Dengan dimulai dari hal-hal kecil, ia akan jadi besar pada waktunya, dan bisa berdampak luas.
Memikirkan kelestarian Bumi memang keren, tapi itu harus dibarengi dengan sikap membumi. Tanpanya, itu hanya sebuah omong kosong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H