Bicara soal Jogja, satu hal yang biasanya banyak dibahas adalah sektor pariwisata. Untuk urusan satu ini, Jogja memang punya beragam keunikan dan potensi. Mulai dari kuliner, sejarah, sampai budaya.
Salah satu potensi wisata yang belakangan mulai digarap adalah Sumbu Filosofi. Sumbu Filosofi merupakan garis lurus yang terbentang dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga Panggung Krapyak.
Disebut Sumbu Filosofi, karena hubungan ketiganya secara umum menggambarkan pemahaman tentang "Dari mana manusia berasal dan kemana ia akan kembali", atau yang dalam falsafah Jawa disebut sebagai "Sangkan Paraning Dumadi".
Sumbu Filosofi ini berbeda dengan Garis Imajiner, yang terbentang dari Gunung Merapi hingga Pantai Parangkusumo. Di tingkat nasional, nama Garis Imajiner memang lebih familiar dibandingkan Sumbu Filosofi, tapi ada yang menganggap keduanya sama, secara salah kaprah.
Padahal, keduanya sama sekali berbeda.
Dengan bentang wilayah yang lebih luas, Garis Imajiner juga punya makna filosofis yang ruang lingkupnya lebih luas dibanding Sumbu Filosofi.
Disebut demikian, karena Garis Imajiner melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan sesama, alam, dan Tuhan. Dalam falsafah Jawa, keselarasan ini disebut sebagai "Hamemayu Hayuning Bawana", dan "Manunggaling Kawula Gusti".
Kembali ke Sumbu Filosofi, dari segi potensi, area ini memang punya potensi cukup menarik, karena terdapat banyak warisan sejarah dan budaya, yang memperkaya keunikannya.
Salah satu paket keunikan itu kebetulan saya temui dalam tur Bus Heritage Track Jogja Tourism Training Center (JTTC) bersama teman-teman dari K-JOG, Selasa (11/10) lalu.
Tur yang kami ikuti kali ini mengusung tema Kolonial, dengan menempuh rute JTTC-Tugu-Malioboro-Titik Nol Kilometer-Museum Sonobudoyo-Jembatan Kewek-Kotabaru.