Mulai dari celoteh "local pride" yang antara lain dilontarkan pelatih kiper Markus Horison dan viral di media sosial, sampai mengundang tim ikut hadir dalam konser dangdut di televisi, semuanya sukses menghadirkan keheranan, karena terkesan menonjolkan rasa puas diri.
Di sini saya patut merasa khawatir. Jangan-jangan, akan ada konser dangdut juga, jika Timnas Indonesia juara Piala AFF senior. Pertanyaannya simpel saja, ini tim sepak bola atau rombongan orkes?
Hal toksik lainnya datang dari pemberitaan soal sesi ibadah yang rutin  dilakukan tim. Jika mereka adalah tim pengajian atau semacamnya, ini patut dilakukan.
Tapi, berhubung ini tim olahraga, sorotan pada aspek keagamaan ini tidak pada tempatnya, dan cenderung berlebihan. Bagaimanapun, aspek keagamaan seharusnya adalah urusan pribadi setiap pemain, dan seharusnya bukan untuk konsumsi publik.
Belum lagi, aksi Iwan Bule, Ketum PSSI, yang ikut angkat trofi saat juara Piala AFF U-16. Ini jelas politisasi, yang seharusnya tak pantas dilakukan kepada tim junior.
Pertanyaannya, apakah sekarang PSSI ikut pasang badan? Kalau lepas tangan dan cuci tangan mungkin iya.
Dengan carut marut yang ada, seharusnya kegagalan Timnas U-17 berangkat ke Bahrain bisa menjadi satu pelajaran mahal, karena menunjukkan seberapa parah kebobrokan mental yang ada, baik dari sisi media, PSSI, maupun yang lainnya.
Juara Piala AFF U-16 memang membanggakan, tapi kalau itu terlalu disombongkan apalagi dipolitisasi, rasanya sangat memalukan, dan akan semakin memalukan ketika tim gagal tampil di tingkat Asia.
Apakah Shin Tae-yong juga harus melatih Timnas U-16?
