Kita tentu ingat, berapa kali tagar #Out dialamatkan kepada ketua umum PSSI, dan berapa kali juga terjadi pergantian ketua umum di sana. Apa hasilnya?
Nama ketua umumnya mungkin berganti, tapi tidak dengan masalahnya. Anarkisme suporter masih ada, kualitas kompetisi begitu-begitu saja, dan Timnas Indonesia pun tak ada kemajuan berarti.
Jelas, masalahnya bukan pada ketua umum saja, tapi organisasi secara keseluruhan. Komisi disiplin masih angin-anginan, kinerja wasit masih belum optimal, dan masih ada politisasi saat Timnas Indonesia berprestasi barang sedikit saja.
Dengan perilaku seperti itu, bukan kejutan kalau mereka menghilang, atau menimpakan kesalahan sepenuhnya pada pihak lain, atau memakai tameng statuta. Pokoknya, mereka selalu benar, yang lain salah.
Kebiasaan ini terlihat, antara lain dari sikap mereka yang menimpakan kesalahan pada panitia penyelenggara, alih-alih ikut mengakui kelalaian di Tragedi Kanjuruhan.
Contoh lain yang paling sering kita lihat adalah kebiasaan menyalahkan pelatih atau pihak lain saat Timnas Indonesia tampil jelek.
Padahal, sekalipun pelatihnya sekaliber Carlo Ancelotti atau Pep Guardiola, prestasi Timnas Indonesia akan tetap begitu-begitu saja. Selama tata kelola sepak bola nasional masih bobrok, dan organisasinya diisi orang-orang yang kurang kompeten, situasinya akan tetap sama.
Jadi, akan lebih tepat kalau PSSI lah yang seharusnya diberi tagar #Out, supaya ada perbaikan menyeluruh di sepak bola nasional. Sudah saatnya organisasi yang sakit diganti dengan yang lebih sehat, untuk masa depan yang lebih baik.
Kelompok suporter yang selama ini kurang akur saja akhirnya mau bergandeng tangan, karena Tragedi Kanjuruhan, kalau PSSI masih tidak mau sadar juga, berarti sudah saatnya tagar #PSSIOut digerakkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H