Seiring bergulirnya proses investigasi pasca Tragedi Kanjuruhan, muncul suara-suara kritis dari publik sepak bola nasional. Salah satunya, desakan agar Mochamad Iriawan mundur dari posisi Ketum PSSI.
Desakan yang antara lain disuarakan lewat tagar #IwanBuleOut ini muncul, karena PSSI terkesan lepas tangan, dengan cenderung menimpakan kesalahan sepenuhnya pada panitia penyelenggara, dan menjatuhkan sanksi yang kurang proporsional kepada Arema FC.
Sikap ini sebenarnya sangat bisa dimengerti, karena Tragedi Kanjuruhan menelan ratusan korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka. Tragedi ini menjadi yang terburuk di Indonesia dan Asia, sekaligus menjadi salah satu yang paling mematikan di dunia.
Tak heran, sorotan dan simpati datang dari seluruh dunia. Sepak bola nasional jadi mendunia, akibat salah satu tragedi stadion paling mematikan sepanjang sejarah.
Sebuah realita memalukan dan memilukan, yang menampilkan secara secara utuh kebobrokan sepak bola nasional dengan PSSI sebagai induknya.
Sebenarnya, kebobrokan PSSI, dan desakan mundur buat ketua umumnya sudah jadi satu paket yang biasa muncul di banyak kesempatan, terutama saat Timnas Indonesia gagal berprestasi, misalnya di level Asia Tenggara.
Jika dibandingkan dengan tragedi di Malang, apa yang biasa kita lihat selama ini jelas tak ada apa-apanya, karena pada kasus kali ini, ada ratusan jiwa yang jadi korban. Ratusan.
Tapi, kalau boleh melihat lagi, masalah yang ada dalam PSSI ini bukan hanya pada ketuanya, tapi organisasi secara umum, yang memang sudah bermasalah, dan beregenerasi selama puluhan tahun.
Ibarat sebuah pohon, PSSI adalah sebuah pohon yang berakar sangat dalam dan kuat. Mengganti ketua umum saja hanya akan menebang bagian atasnya, tapi tidak membuat pohon itu mati.
Jelas, itu tidak akan mengubah apapun, karena justru akan melanggengkan kebobrokan yang sudah lama ada.