Pada Sabtu (1/10) lalu, tersaji partai besar Liga 1 bertajuk "Derby Jawa Timur" antara Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan. Laga ini menjadi salah satu pertandingan yang biasa mendapat perhatian ekstra, karena terkenal bertensi tinggi, seperti halnya partai Persib Bandung vs Persija Jakarta.
Biasanya, duel tensi tinggi ini berjalan seru, dan punya "kebiasaan khusus" yang disepakati, demi keselamatan bersama. Tentu saja, ini adalah hasil evaluasi dari rekam jejak pengalaman panjang di masa lalu.
Tiga contoh paling terkenal adalah larangan bagi suporter tim tamu untuk datang dan penggunaan kendaraan taktis (rantis) untuk antar jemput tim tamu. Satu lagi, tim tamu diperbolehkan untuk langsung pulang seusai laga, tidak ikut dalam konferensi pers seusai laga.
Tiga kebiasaan ini, ditambah tensi tinggi khas duel klasik memang hadir di Stadion Kanjuruhan. Di lapangan, Tim Bajul Ijo dan Singo Edan mempertontonkan aksi ciamik, dengan dwigol Abel Camara mampu membalas gol-gol Silvio dan Leo Lelis di babak pertama.
Di babak kedua, Arema yang bermain agresif mampu menekan Persebaya. Tapi, kali ini mereka gagal membalas gol Sho Yamamoto, sehingga takluk dengan skor 2-3.
Hasil ini memutus tren tiga kekalahan beruntun Marselino Ferdinan dkk, sebaliknya, kekalahan ini menjadi kekalahan ketiga beruntun Evan Dimas dkk di kandang sendiri.
Sampai wasit meniup peluit panjang laga ini sebenarnya berjalan lancar. Tapi, masalah justru muncul setelahnya. Kekalahan atas rival bebuyutan di kandang sendiri sepertinya menjadi satu hal yang sulit diterima oknum suporter tuan rumah.
Diawali dengan masuknya dua orang suporter ke dalam lapangan, situasi mendadak jadi ricuh, setelah ada ribuan suporter ikut masuk ke lapangan dan memaksa aparat menembakkan gas air mata ke beragam arah, termasuk ke tribun penonton.
Beruntung, tim Persebaya Surabaya dapat langsung dievakuasi dengan kendaraan taktis, sehingga lolos dari amukan oknum suporter anarkis tuan rumah.
Apes, penonton yang tidak ikut- ikutan masuk ke lapangan jadi kena getah. Banyak yang berdesakan menuju pintu keluar dan sesak napas. Akibatnya, jatuh korban luka bahkan jiwa.
Sejumlah informasi menyebut, jumlah korban jiwa akibat tragedi ini bahkan mencapai lebih dari 100 orang. Sebuah rekor mengerikan telah tercipta di sepak bola nasional.
Inilah satu wajah muram di balik gairah tinggi sepak bola nasional. Ada antusiasme luar biasa yang mengerikan saat lepas kendali, dan dilengkapi dengan kekacauan di berbagai aspek.
Tanpa bermaksud menyebut pihak tertentu, tragedi di Stadion Kanjuruhan sendiri tak lepas dari kesalahan pihak-pihak terkait, selain oknum suporter anarkis yang belum bisa bersikap dewasa.
Dari sisi panitia penyelenggara, ternyata diketahui kalau mereka mengabaikan imbauan Polres Malang beberapa hari jelang pertandingan, terkait pembatasan jumlah tiket, dengan jumlah maksimal di angka 38 ribu tiket, sesuai kapasitas ideal stadion.
Alih-alih mengikuti imbauan, panpel justru menjual 42 ribu tiket. Dengan kata lain, kelebihan kapasitas penonton menjadi satu faktor kunci.
Akibatnya, aparat keamanan yang bertugas benar-benar kewalahan. Saat terjadi kisruh, upaya mengendalikan massa lewat tembakan gas air mata justru mengakibatkan jatuh korban. Situasi menjadi tak terkendali, lengkap dengan berbagai kerusakan yang tercipta.
Dari sisi operator kompetisi, dalam hal ini PT LIB, yang dinaungi PSSI, diketahui juga kalau mereka menetapkan jadwal kick off pada malam hari, sesuai permintaan pihak televisi, yang mengejar rating tinggi di jam prime time.
Padahal, pihak panitia sudah meminta jadwal kick off diajukan menjadi Sabtu sore. Salah satunya demi keamanan suporter.
Tapi, semua langkah mitigasi itu justru diabaikan. Demi cuan, aspek keamanan dan kenyamanan suporter tak diutamakan. Petaka-lah yang akhirnya datang, meminta korban dari mereka yang sebenarnya tidak layak jadi korban.
Rating televisi dan pendapatan yang tinggi memang jadi hal umum di era sepak bola industri seperti sekarang. Tapi, harganya jelas tidak sebanding dengan nyawa manusia.
Berangkat dari tragedi ini, PSSI memang langsung memutuskan untuk menghentikan kompetisi Liga 1 selama sepekan, antara lain untuk keperluan investigasi. Selain itu tim Arema FC dilarang menjadi tuan rumah selama sisa kompetisi musim ini,
Jika hasil investigasi nantinya terbukti memberatkan Arema FC selaku tim tuan rumah, PSSI tak perlu ragu-ragu untuk memberikan sanksi lebih berat, karena insiden ini sudah memakan korban jiwa sampai ratusan orang.
Tragedi Kanjuruhan bahkan jauh lebih mengerikan dari tragedi Heysel (1985) yang memakan korban 39 nyawa dan membuat klub Liga Inggris dilarang tampil di kompetisi antarklub Eropa selama 5 tahun.
Tapi, supaya langkah ini lebih efektif, seharusnya ada perubahan dan perbaikan lebih serius, karena masalah kekisruhan suporter sejatinya sudah terjadi berulang-ulang.
Untuk beberapa waktu ke depan, sebaiknya pihak aparat melarang suporter menonton langsung di stadion, setidaknya sampai semua aspek sudah benar-benar diperbaiki. Larangan ini bisa jadi opsi masuk akal, karena berkaitan dengan keadaan darurat dan keamanan bersama.
Mulai dari pengaturan kapasitas stadion sampai jam kick off, semua harus benar-benar mempertimbangkan faktor keamanan dan kenyamanan bersama. Bukan demi mengejar rating televisi atau uang semata, yang terbukti memakan banyak korban di Malang.
Kalau tidak, kesadaran yang hadir bersama penyesalan dan kesedihan akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan akan surut setelah beberapa saat, seperti yang sudah-sudah. Setiap ada kejadian, tagarnya viral di media sosial, tapi tenggelam setelah tidak lagi hangat dibicarakan.
Bagi sebagian pecinta sepak bola, bisa menonton langsung aksi tim kesayangan di stadion adalah satu kebanggaan, tapi tidak ada yang bisa dibanggakan dari itu, jika nyawa jadi taruhan.
Berhubung tragedi di Stadion Kanjuruhan sudah memakan banyak korban, kita juga harus bersiap, kalau ternyata FIFA dan AFC menjatuhkan sanksi berat buat PSSI. Inilah akibat yang harus ditanggung, dari tata kelola yang masih bobrok.
Sepak bola memang jadi satu olahraga yang dicintai di Indonesia. Meski tergolong kering prestasi, rasa cinta itu ternyata tetap ada. Tapi, jika tata kelola dan pola pikir yang ada masih bobrok, ia tak lebih dari satu ancaman gangguan keamanan masyarakat.
Selama tim tamu masih naik kendaraan taktis saat bertanding di kandang rival bebuyutan, selama itu juga sepak bola nasional masih belum baik-baik saja. Ini memang unik dan langka, tapi sangat mengkhawatirkan.
Mau sampai kapan begini terus?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H