Bicara soal sepak bola nasional, satu hal yang cukup lekat dengannya adalah antusiasme penonton. Berkat sebagian masyarakat yang secara kultur tergolong "gila bola", antusiasme penonton pada olahraga satu ini tergolong tinggi.
Karenanya, wajar kalau banyak klub di liga Indonesia yang punya basis suporter fanatik. Tak peduli itu klub kasta tertinggi atau bukan, hampir bisa dipastikan, dimana ada klub, disitu ada suporter fanatik.
Jika mampu dijaga ketertibannya dan teredukasi dengan baik, suporter fanatik adalah satu kekuatan sekaligus daya tarik spesial. Kehadiran mereka di berbagai situasi, adalah satu alasan, mengapa label "The Beautiful Game" lekat dengan sepak bola.
Dalam banyak kesempatan, suporter fanatik menampilkan gairah dan rasa cinta luar biasa buat klub kesayangan, lewat beragam gaya. Dari yang biasa sampai sangat ekspresif.
Dari mereka, selalu ada tambahan energi istimewa di tiap pertandingan, entah dalam bentuk semangat atau materi (dari hasil penjualan tiket, sponsor maupun merchandise). Makanya, suporter kerap disebut sebagai "pemain ke 12" di setiap tim.
Jika suporter itu tidak teredukasi dengan baik, mereka kadang jadi "pedang bermata dua" buat klub kesayangan. Kalau kata lirik lagu "Madu dan Racun", golongan suporter ini ibarat membawa madu berupa potensi keuntungan di tangan kanan, dan racun berupa potensi kerugian di tangan kiri.
Keduanya bisa muncul secara acak tanpa bisa dipilih. Kalau dapat madu, sudah pasti untung, kalau tidak ya rugi. Sesederhana itu.
Di Indonesia, contoh aktual dari dinamika ini hadir di klub Persebaya Surabaya dengan Bonek-nya yang terkenal militan. Di manapun tim itu bermain, Bonek selalu ada sebagai pemain ke 12 tim di stadion.
Kesolidan Bonek juga sudah terbukti, saat mereka berani untuk bersikap tegas, saat klub kesayangan mereka sempat digoyang dualisme kepengurusan.
Soal kesetiaan pun tak kalah istimewa, karena mereka tetap setia saat The Green Force sempat terdegradasi dari kasta tertinggi.