Beruntung, setelah itu Brighton mampu menemukan momentum positif dan mengamankan 3 poin, berkat kemenangan 5-2, dengan 3 gol diantaranya hadir di babak kedua.
Sementara itu, Manchester United juga lolos dari kebobolan lebih dulu saat berjumpa Arsenal, setelah VAR menganulir gol Gabriel Martinelli.Â
Penyebabnya bukan karena si pemain terjebak offside, tapi karena pada prosesnya, VAR mendapati Martin Odegaard melanggar Christian Eriksen.
Momen ini lalu jadi titik balik, karena membuat Manchester United menemukan kesempatan untuk memukul balik. Hasilnya, skor 3-1 mewarnai kekalahan pertama sang pemuncak klasemen sementara.
Jika melihat kelima momen di atas, sedikit rasa jengkel mungkin akan muncul, karena gol yang dianulir VAR kali ini umumnya berasal dari pelanggaran sederhana, yang di masa lalu mungkin tak dianggap sebagai pelanggaran.
Kejengkelan lain muncul, karena VAR dianggap "merusak" salah satu seni klasik sepak bola, yakni kesalahan wasit. Ini cukup ironis, karena VAR hadir sebagai alat bantu untuk meminimalkan kesalahan wasit di lapangan.
Seperti diketahui, sebelum VAR ada, wasit kerap jadi kambing hitam. Ternyata, Â itu masih berlanjut setelah ada VAR, yang notabene merupakan alat bantu berbasis teknologi informasi.
Seiring berjalannya waktu, teknologi informasi memang masih akan terus berkembang dengan cepat.Â
Mungkin, apa yang kita lihat sekarang hanya versi awal dari kemajuan di masa depan, saat VAR di sepak bola nanti sudah seperti VAR di bulu tangkis: bisa digunakan di seluruh dunia.
Ketika saat itu akhirnya tiba, kita mungkin akan melihat sepak bola seperti bulu tangkis: perfeksionis hingga detil terkecil.