Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Salah Kaprah Produsen Smartphone dengan Adaptornya

27 Agustus 2022   16:23 Diperbarui: 10 September 2022   13:23 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi adaptor pengisi daya (Kompas.com)

Dalam beberapa waktu terakhir, label "ramah lingkungan" telah menjadi sesuatu yang cukup kompleks. Maklum, ia tidak hanya jadi satu kampanye sosial, tapi telah menjadi satu strategi dagang.

Salah satu yang belum lama ini saya jumpai adalah saat saya membeli ponsel pabrikan Samsung, sekitar dua pekan lalu. Setelah sebelumnya mencari-cari info spek dan menyesuaikan dengan budget, pilihan saya akhirnya jatuh ke ponsel yang sekarang saya gunakan.

Tapi, pada prosesnya saya sempat dibuat pusing, karena kepala charger alias adaptor pengisi dayanya dijual terpisah. Produk aslinya saja dijual dalam kisaran harga 200-300 ribuan rupiah.

Bagi saya, ini lumayan bikin pusing, karena saya masih harus mencari juga casing dan temper glass. Pendek kata, jika harus beli di toko berbeda, aksesoris pendukungnya cukup ribet, karena jenis dan harganya lebih beragam dibanding produk utama.

Alhasil, supaya lebih praktis, saya lalu mengakalinya, dengan mencari toko online yang menjual sekaligus ponsel dan adaptor resmi berdaya listrik 25 watt dalam satu paket. Jadi, sekali angkut, semuanya beres.

Ketika saya menemukannya, dan toko itu juga memasang diskon yang membuat harganya sesuai budget, saya langsung bungkus tanpa pikir panjang. Tapi, sedikit rasa heran tetap saja muncul, karena alasan umum adaptor dijual terpisah adalah "supaya lebih ramah lingkungan".

Jujur saja, alasan ini terdengar menggelikan bagi saya. Meski niatnya baik, caranya boleh dibilang salah kaprah. Mengapa?

Jika alasannya adalah untuk mengurangi limbah elektronik atau sampah plastik, menjual adaptor secara terpisah justru bisa menambah jumlah sampah plastik. Kemungkinan ini muncul, karena tidak semua toko yang menjual ponsel menjual juga adaptor pengisi dayanya.

Ada yang memang tidak menjual, ada juga yang kehabisan stok. Otomatis, sampah plastik justru akan bertambah. Jika misal adaptor itu dibeli di toko lain dan dipaketkan, minimal sudah ada tambahan sampah plastik dari bungkus paket produk.

Dari sini kita seharusnya bisa bertanya, bagian mana yang membuat kebijakan ini lebih ramah lingkungan?

Konyolnya, strategi penjualan adaptor secara terpisah ini justru berpotensi menghadirkan masalah buat konsumen. Akibat harga adaptor aslinya yang terlalu mahal, banyak konsumen mencari-cari versi alternatif, dengan harga yang tentu saja lebih murah.

Masalahnya, tidak semua adaptor versi alternatif ini berkualitas sama bagus dengan aslinya. Ada yang kapasitas dayanya lebih rendah, ada juga yang merupakan produk tiruan.

Dua kelemahan ini bisa berdampak negatif untuk ponsel, karena bisa memperlambat waktu pengisian baterai, dan merusak baterai. Otomatis, kalau baterai bermasalah, kinerja ponsel pun akan bermasalah. Kalau sudah bermasalah, membeli ponsel baru kadang jadi solusi.

Masalah adaptor sebenarnya perkara sederhana, tapi kalau diremehkan, dampaknya akan sangat tidak ramah bagi isi dompet.

Alih-alih ramah lingkungan, saya justru melihat rumus khas masalah birokrasi di Indonesia: "kalau bisa rumit kenapa dipermudah?"

Mungkin, pencetus ide ini ingin membuat konsumen punya tantangan baru dari ponsel mereka. Iklan produk cemilan saja memasang tagline "life is never flat", seperti halnya jargon "berani kotor itu baik" milik sebuah produk deterjen, kenapa ponsel pintar tidak?

Masalahnya, karena ini sudah salah kaprah, sebaiknya pihak Samsung perlu mulai mengevaluasi ulang, kalau perlu menghapus kebijakan ini, sebelum pemerintah bertindak tegas, seperti yang terjadi di Brasil bulan Mei 2022 silam.

Kala itu Samsung dan Apple didenda pemerintah setempat, atas pelanggaran hak konsumen, karena tidak menyertakan pengisi daya di ponsel, juga dengan dalih ramah lingkungan.

Meski terdengar keren, dalih ini jelas salah alamat. Volume sampah plastik tidak akan berkurang kalau kuantitas sampah plastiknya justru ditambah.

Kalau memang ingin mengkampanyekan budaya ramah lingkungan, kenapa tidak sekalian mengembangkan dan memasyarakatkan teknologi pengisian daya secara nirkabel?

Jelas, akan kurang baik kalau kebiasaan menjual adaptor pengisi daya secara terpisah sampai ditiru pabrikan lain dan jadi tren di Indonesia, karena justru menampilkan sebuah pembodohan.

Kalau produsen ponsel pintar masih menjual produknya dengan menyelipkan sedikit unsur pembodohan, berarti ada yang salah, dan itu harus segera diperbaiki sebelum terlambat.

Referensi  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun