Di usianya yang masih 26 tahun, kepindahan ke Turki jelas jadi satu titik nadir, buat pemain yang sempat digadang jadi bintang besar. Tragisnya, ini justru datang di usia puncak pesepakbola. (AFP/GLYN KIRK via KOMPAS.com)
Dalam sepak bola, siklus naik-turun performa pemain adalah satu fenomena biasa. Ada yang memang menurun karena faktor pertambahan usia, ada juga yang menurun karena masalah cedera.
Maklum, sepak bola adalah satu olahraga intensitas tinggi, yang akan optimal, jika dimainkan dengan kondisi prima. Jadi, wajar kalau pemain yang sudah senior dan langganan cedera tidak terlalu sering bermain penuh.
Di luar faktor "wajar" itu, cerita yang cukup tragis biasanya hadir, jika seorang pemain menunjukkan potensi besar di awal kemunculannya, bahkan sempat mencapai level tinggi di usia muda, tapi langsung anjlok di usia puncak, meski kondisinya masih prima. Contoh paling gres dari cerita tragis ini adalah Dele Alli.
Awalnya, pemain kelahiran tahun 1996 ini terlihat menjanjikan. Sejak debut bersama MK Dons di musim 2012-2013, kemampuan individunya tampak menonjol.
Hasilnya, dalam usia masih 16 tahun, Alli muncul sebagai properti panas. Meski MK Dons hanya bermain di kasta ketiga, tim-tim besar Eropa mulai rutin memantau bakat sang pemain.
Tapi, Tottenham Hotspur akhirnya mampu mengamankan tenaga Alli pada bursa transfer Januari 2015 dengan ongkos transfer 5 juta pounds. Gelandang keturunan Nigeria ini baru bergabung di musim panas, tak lama setelah membantu MK Dons promosi ke Championship Division di akhir musim 2014-2015.
Bersama Spurs, perkembangannya semakin pesat. Pemain yang mengidolakan Steven Gerrard ini mampu menjalin kerja sama apik dengan Harry Kane dan Son Heung Min, di lini serang tim asuhan Mauricio Pochettino.
Hasilnya, The Lilywhites mampu konsisten bersaing di posisi empat besar Liga Inggris, Â bahkan lolos ke final Liga Champions musim 2018/2019.
Potensi besar Alli juga tampak semakin menarik, karena dirinya mampu meraih dua penghargaan Pemain Muda Terbaik Liga Inggris secara beruntun, pada musim 2015-2016 dan 2016-2017.
Di level tim nasional, pemain bernama lengkap Bamidele Jermaine Alli ini juga sempat "diperebutkan" Inggris dan Nigeria. Â Tapi seragam Tiga Singa-lah yang dipilih, dengan Euro 2016 sebagai panggung besar pertamanya.
Seiring perkembangannya di Tottenham Hotspur, performanya juga turut berkembang di Timnas Inggris. Tak heran, panggilan tampil di Piala Dunia 2018 pun datang. Turnamen ini menjadi semakin spesial, karena untuk pertama kalinya sejak 1990, The Three Lions mampu lolos ke semifinal Piala Dunia.
Tapi, tak lama setelah mencapai semifinal Piala Dunia dan final Liga Champions, performa Alli justru mulai anjlok. Kedatangan Jose Mourinho yang menggantikan Pochettino seolah makin mempercepat penurunan itu.
Sebelumnya, Â jebolan akademi MK Dons ini juga sempat beberapa kali dikritik, akibat beberapa kali dikartu kuning wasit karena melakukan aksi diving. Beruntung, performa bagusnya mampu menepikan kekurangan itu, sampai Mourinho datang.
Meski dinilai punya bakat istimewa, Mou mengkritik level disiplin dan etos kerjanya. Awalnya, kritik itu mampu direspons positif lewat aksi bagus di lapangan, tapi sejak dihukum FA akibat melakukan aksi rasialisme di media sosial, namanya praktis tenggelam.
Pada musim 2020/2021, Alli jarang mendapat kesempatan bermain, baik di Liga Inggris, piala domestik atau Liga Europa. Situasi suram itu membuat namanya tak masuk Timnas Inggris di Euro 2020.
Di musim 2021/2022, nasibnya bahkan lebih apes. Setelah kembali jarang mendapat kesempatan bermain, kesempatan pindah permanen ke Everton pun datang di Januari 2022.
Transfer ini sempat menjadi satu harapan buat Dele Alli, karena kesempatan bekerja sama dengan pelatih Frank Lampard dianggap sebagai pertimbangan utama.
Tapi, harapan tinggal harapan, karena ternyata kiprah mantan bintang Tottenham Hotspur ini bersama The Toffees ternyata stagnan. Everton bahkan harus susah payah hingga pekan-pekan akhir, hanya untuk lolos dari degradasi.
Apa boleh buat, di bursa transfer musim panas 2022, Alli kembali harus hengkang ke Besiktas, kali ini dengan status pinjaman. Transfer ini sendiri diresmikan pada Kamis (25/8) lalu dengan menyelipkan opsi transfer permanen.
Di usianya yang masih 26 tahun, kepindahan ke Turki jelas jadi satu titik nadir, buat pemain yang sempat digadang jadi bintang besar. Tragisnya, ini justru datang di usia puncak pesepakbola.
Dengan kontrak masih tersisa sampai tahun 2024, bisa jadi transfer ini akan jadi kesempatan terakhirnya unjuk gigi di kompetisi liga Eropa. Jika ternyata kembali melempem, bukan kejutan kalau Alli akan pindah ke MLS dalam waktu dekat.
Menariknya, penurunan drastis performa Dele Alli ini menunjukkan, seberapa fatal efek negatif masalah disiplin dan etos kerja bagi pemain berbakat. Sebesar apapun bakatnya, jika tidak disiplin dan kurang tekun, dia akan semakin cepat menuju titik nadir.
Tragis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H