Lelucon sempurna. Begitulah gambaran sederhana dari performa Manchester United, saat bertandang ke markas Brentford, Sabtu (13/8).
Setelah pekan lalu ditekuk Brighton 1-2, pasukan Erik Ten Hag yang membidik kemenangan pertama di era baru, justru kembali dipaksa menanggung malu, setelah Brentford menghajar mereka dengan skor 4-0.
Di atas kertas MU mungkin lebih diunggulkan pada awalnya, karena dinilai punya materi pemain lebih mewah. Tapi, penampilan tim tuan rumah justru menunjukkan sebuah kemewahan.
Di bawah panas terik kota London, anak-anak asuh Thomas Frank mampu mengungguli tim lawan. Cukup dengan meniru strategi Brighton pekan lalu, dan sedikit meningkatkan intensitas permainan, Manchester United benar-benar jadi bulan-bulanan.
Entah karena idealis atau memang "koppig" alias keras kepala, Erik Ten Hag masih coba menerapkan strategi menyerang dan mendominasi penguasaan bola. Sama seperti saat melawan Brighton.
Memang, Si Setan Merah turun dengan materi pemain yang sudah lebih lengkap, karena Cristiano Ronaldo sudah turun sebagai starter di pos ujung tombak. Masalahnya, inisiatif serangan yang coba dibangun justru percuma.
Malah, kombinasi pressing ketat dan serangan balik cepat Ivan Toney dkk mampu membuat tim kesayangan Manchunian kewalahan.Â
Tumpulnya lini depan, keringnya kreativitas lini tengah, dan bocornya lini belakang menjadikan performa United sukses membuat komedian sekaliber Srimulat atau Warkop DKI merasa minder, saking lucunya.
Dipimpin Harry Maguire, yang memang sudah dikenal sebagai bek tengah termahal dunia yang jago membuat blunder kocak, lini belakang klub penghuni Old Trafford benar-benar tampil sangat menghibur.
David De Gea yang biasanya dipaksa "kerja rodi" membuat penyelamatan di bawah mistar, justru memilih untuk ikut melawak.Â
Blundernya di menit-menit awal membuat tim langsung kebobolan dan kena mental. Mungkin, kiper asal Spanyol ini sudah bosan menjadi sosok "serius" di antara para pelawak.
Di sisi bek sayap, duet Luke Shaw dan Diogo Dalot memang rajin naik membantu serangan, tapi mereka sama-sama sering lupa turun saat harus bertahan. Apa boleh buat, pertahanan MU jadi mudah dijebol, seperti dinding kayu lapuk.
Di jantung pertahanan, Lisandro Martinez yang kerap disebut-sebut sebagai seorang "penjagal" di Liga Belanda, karena berani bermain keras, justru keteteran saat harus menghadapi penyerang lawan yang cepat dan kuat secara fisik.
Bek asal Argentina ini tampak kalah cepat saat penyerang lawan berlari kencang. Situasi makin sulit, karena posturnya juga kurang ideal untuk duel udara.
Padahal, sejak datang dari Ajax Amsterdam, banyak yang menyebut dirinya akan langsung bersinar. Tapi, di pertandingan melawan Brentford, ia hanya jadi tandem melawak yang baik buat Harry Maguire, sebelum akhirnya digantikan oleh Raphael Varane.
Di tengah, Fred yang tampil seadanya seperti biasa, melengkapi kekacauan di sektor dapur serangan. Hari itu, Christian Eriksen juga seperti mendapat jawaban, kenapa dia sempat merasa ragu-ragu, saat United mendekatinya.
Kreativitas pemain Timnas Denmark itu memang masih ada, tapi dia seperti belum bisa move on dari masa singkat yang berkesan di Brentford. Buktinya, Eriksen membuat satu blunder yang menghasilkan gol buat mantan timnya.
Jadon Sancho, dia benar-benar berbeda dengan saat masih di Borussia Dortmund. Kemampuan ciamiknya di Jerman seperti hilang entah kemana.
Mungkin, kemampuan itu dijual terpisah oleh Dortmund, dan MU lupa membelinya. Dia, seperti halnya Marcus Rashford tak bisa berbuat banyak.
Bruno Fernandes? Dia hanya bagus di era Ole Gunnar Solskjaer. Banyak gol dicetaknya di periode itu, walaupun sebagian besar dari eksekusi penalti, karena eks pemain Sporting Lisbon itu didapuk sebagai eksekutor utama tendangan 12 pas.
Begitu Cristiano Ronaldo datang, Â kesempatan menjadi eksekutor tendangan penalti utama hilang, dan dia tak pernah lagi sama.
Last but not least, Cristiano Ronaldo memang bermain penuh. Tapi, hatinya tak lagi berada di klub. Penampilan The Red Devils di London hari itu seolah menegaskan, kenapa superstar Portugal itu ngotot ingin segera pindah.
Ternyata, naluri pemenang lima Ballon D'Or memang tak bisa dikelabui oleh paket pepesan kosong berupa "hype" kedatangan Erik Ten Hag, narasi "rebuild" dan analisis bernada optimis di sekitarnya.
Entah kebetulan atau bukan, situasi Ronaldo dan penampilan United hari itu seperti mempertegas fakta, kenapa pemain-pemain incaran seperti Darwin Nunez, Frenkie De Jong, dan Benjamin Sesko enggan merapat.
Bahkan, Erik Ten Hag sebenarnya juga sempat diperingatkan Louis Van Gaal, saat hendak mengambil alih kursi panas di Old Trafford. Tentu saja, ini adalah masukan dari seorang senior, yang kebetulan sesama orang Belanda.
Banyak pengamat yang menyebut, Si Tulip Besi terkesan subyektif, karena kisahnya di Teater Impian berakhir pahit. Ternyata, fakta di lapangan tidak berbohong.
Hanya dalam rentang waktu 35 menit, Josh Dasilva, Mathias Jensen, Ben Mee dan Bryan Mbeumo mampu mencetak gol-gol Si Lebah ke gawang David De Gea. Episode suram pelatih gundul itu semakin sempurna, karena anak asuhnya dicemooh suporter sendiri.
Ini jelas sebuah ironi, karena baru sebulan lalu Manchunian memuji-muji tim, karena menghajar Liverpool 4-0 di Bangkok. Tapi, kini posisi berbalik total, karena performa oke di fase pramusim dan "hype" berlebihan atas Erik Ten Hag justru mulai jadi racun.
Seperti sebuah mimpi indah buat suporter tuan rumah, Brentford unggul 4-0 saat turun minum, dengan strategi yang pada dasarnya sama dengan Brighton: bermain rapat dengan serangan balik cepat. Meski Ten Hag coba melakukan perubahan di babak kedua, semua sudah terlambat.
Moral tim sudah morat-marit, sementara semangat lawan sudah jauh lebih tinggi. Satu-satunya hal positif yang didapat hanya mereka tidak kebobolan lebih banyak gol di babak kedua.
Jika melihat skornya, saya justru curiga. Jangan-jangan Brighton pekan lalu justru tidak mengeluarkan kekuatan penuh, karena masih menghargai perasaan suporter tuan rumah.
Mereka tidak tega melihat "tragedi bedol desa" seperti saat Liverpool menang 5-0 di sana musim lalu kembali terulang terlalu cepat. Mungkin, ini akan jadi tema cerita minggu depan, karena Liverpool dengan Darwin Nunez-nya akan mampir dan menunjukkan versi serius mereka.
Saya justru curiga, jangan-jangan Manchunian sudah mulai ketar-ketir karena minggu depan Old Trafford akan kedatangan Liverpool. Makanya, tagar #EmptyOldTrafford belakangan viral di media sosial.
Start jeblok Manchester United di era Ten Hag mungkin jadi yang terburuk di era pasca-Ferguson. Meski memilukan buat Manchunian, ini jadi sebuah level komedi baru di klub, karena di fase pramusim tim ini terlihat tampil serius dan meraih hasil baik, tapi justru tampil melawak saat kompetisi dimulai.
Satu-satunya dugaan yang bisa dimengerti adalah, mungkin Manchester United hanya membeli versi kemampuan "trial version" saat memboyong Erik Ten Hag dari Ajax Amsterdam, tapi lupa membeli versi "full version" yang ternyata dijual terpisah oleh Ajax.
Inilah satu kebiasaan umum di Manchester United era kekinian, khususnya dalam hal rekrutmen pemain atau pelatih. Makanya, aksi mereka sukses mencetak banyak meme lucu dan menghibur suporter lawan.
Terbukti, Harry Maguire dan Fred yang kerap dianggap sebagai biang kerok sekaligus dedengkot pelawak di klub, justru cukup diandalkan dan tampil cukup baik di Timnas Inggris dan Brasil.
Bisa jadi, mereka sudah terlanjur kekenyangan dengan era gemilang Sir Alex Ferguson yang terbentang antara tahun 1986-2013, sehingga mereka bosan tampil serius dan lebih memilih jadi pelawak. Toh sama-sama menghibur penonton.
Jika komedi ini masih terus berlanjut, rasanya The Red Devils perlu menjalani ritual ganti nama jadi "Melawak United" atau jadi ormas saja. Sekalian buang sial.
Berhubung kemampuan melawaknya sungguh sangat hebat, tim ini lebih membutuhkan pelatih sekelas Jackie Chan atau Mr. Bean, untuk hasil yang lebih sempurna.Â
Dua sosok legendaris ini lebih pas, karena pelatih juara Liga Champions sekelas Louis Van Gaal dan Jose Mourinho saja mendadak hilang kesakitan di sini, akibat kuatnya DNA melawak dalam klub.
Level mereka berada jauh di atas tim sepak bola biasa, karena sudah cukup konsisten, dalam menghadirkan sajian komedi sepak bola kelas dunia.Â
Mungkin, inilah jalan ninja yang sedang mereka tempuh, karena di masa lalu sudah begitu dominan, dan membuat Liga Inggris sempat terasa membosankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H